Agenda Besar Pendidikan

Agenda Besar Pendidikan

Oleh: AHMAD KUSAERI
PENDIDIKAN bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis, serta bertanggung jawab (UU No. 20/ 2003).

Tujuan pendidikan berdasarkan UU Sisdiknas tahun 2003 menekankan pada aspek apektif peserta didik. Artinya, pendidikan merupakan ikhtiar memanusiakan manusia seperti yang sering diungkapkan para ahli pendidikan. Namun, kenyataannya, realisasi tujuan tersebut masih bias dan timpang dari harapan. Betapa tidak, deretan tindakan "amoral" hampir setiap hari kita dengar bahkan kita saksikan. Ironisnya, itu semua dilakukan orang-orang yang pernah atau sedang bergelut dengan bangku sekolah. Kesannya, pendidikan seolah melahirkan permasalahan bukan memberikan solusi. Padahal, semestinya, pendidikan menjadi kekuatan untuk mengubah ketidakberaturan ke arah keteraturan, kebobrokan moral menuju makarimal akhlak, kekeringan spiritual ke arah power of spiritualism, dan seterusnya.

Akan tetapi, sepertinya hal itu dianggap dingin-dingin saja. Yang lebih heboh, justru ketika lulusan pendidikan tidak mampu menyeimbangkan dengan tuntutan dunia usaha, nilai (kognitif) yang kecil. Padahal, ketika moralitas suatu bangsa rusak, rusaklah yang lainnya. Kesan yang muncul kemudian pendidikan kita hanya menitikberatkan aspek kognitif. Sebagai bukti, pada tahun 2011 UN masih akan tetap dilaksanakan dan menjadi alat kelulusan yang notabene hanya mengukur aspek kognitif.

Padahal, jika pendidikan "memang" mau konsisten seperti dikatakan dalam UU Sisdiknas bahwa pendidikan berdasarkan Pancasila. Artinya, dalam Pancasila terdapat lima sila. Pertama, orang Indonesia harus beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa menurut agamanya masing-masing. Makna penting dari sila ini adalah dalam kebudayaan kita tidak boleh berkembang sekulerisme dan ateisme.

Nilai tersebut kemudian menjiwai empat nilai lainnya. Dengan demikian, nilai kedua ialah kemanusiaan yang adil dan beradab berdasarkan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan sila yang lainnya sampai sila lima yang berdasarkan sila yang pertama. Dari sini dapat ditarik asumsi bahwa nilai pertama mempunyai fungsi ganda, satu sisi merupakan salah satu nilai dari lima nilai dasar, pada sisi lain sila ini menempati inti (core) yang menjiwai, mewarnai, atau mendasari, serta mengarahkan empat nilai lainnya. Asumsi ini menurut penulis sangat beralasan. Hal itu tergambar pada lambang burung garuda yakni gambar bintang yang mengambil sebagian daerah empat lambang lainnya.

Dari situ saja, jika pendidikan berdasarkan Pancasila berarti pendidikan harus menjadikan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa menjadi inti pendidikan. Berarti pula, pendidikan harus dapat mengantarkan output pendidikan yang memiliki keimanan, ketakwaan, dan berkarakter (akhlak) luhur. Hal ini sangat serasi dengan tujuan pendidikan yang menyatakan pendidikan memanusiakan manusia.

Sudah saatnya, pendidikan kita tidak hanya berorientasi kognitif , tetapi harus mampu digiring pada pengetahuan yang integratif, seimbang antara IQ, EQ, dan SQ. Jika dunia pendidikan kita masih memaksakan diri hanya mengedepankan aspek rasio, bukan tidak mungkin masa kehancuran akan menunggu kita, seperti halnya dunia Barat. Menurut Nietzsche (1844-1900), Barat telah mengalami kekeliruan besar, yaitu mereka terlalu mendewakan rasio sehingga mereka berada di ambang kehancuran. Seperti yang diungkapkan juga oleh Capra, kekeliruan Barat adalah karena kebudayaannya dibangun hanya dengan menggunakan paradigma rasionalisme yang kemudian melahirkan positivisme.

Tidak ada alasan lagi untuk menunda rekonstruksi paradigma pendidikan kita menuju pendidikan yang integratif, agenda pendidikan yang tidak hanya mengembangkan koginisi, melainkan cerdas spiritual, emosi, dan inteligensinya. (Penulis Staf Pengajar di STAI Al-Musdariyah Cimahi).


Tags: