Jakarta (Kemenag) --- Direktur Jenderal Pendidikan Islam, Amien Suyitno, menegaskan pentingnya pendidikan, toleransi, dan keharmonisan keluarga dalam menghadapi tantangan sosial di Indonesia. Hal ini disampaikan dalam Kongres Keluarga Maslahat NU yang berlangsung di Jakarta pada Jumat (31/1/2025).
Dalam peparannya, Amien Suyitno menyoroti dua hal penting yang dapat membentuk keluarga yang maslahat. Dua hal tersebut adalah keluarga terdidik dan keluarga cinta alam.
Suyitno mengungkapkan bahwa saat ini hanya sekitar 31% masyarakat Indonesia yang memiliki akses ke pendidikan tinggi, sementara 78% lainnya masih menghadapi berbagai kendala. Mayoritas penduduk Indonesia yang beragama Islam masih belum mendapatkan akses pendidikan yang memadai.
“Pemerintah telah meluncurkan berbagai program afirmasi, seperti Cyber Islamic University, yang memungkinkan pendidikan berbasis digital agar lebih inklusif. Program ini bertujuan untuk membantu para ustadz dan tenaga pendidik mendapatkan rekognisi akademik,” ujarnya.
“Ini menjadi bekal poin pertama, yakni keluarga terdidik,” tambahnya.
Selain pendidikan, lanjut Suyitno, isu lingkungan juga menjadi perhatian utama. Konsep fikih lingkungan harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari agar masyarakat lebih peduli terhadap keberlanjutan alam. Menanam dan merawat pohon bukan hanya seremoni simbolis, tetapi harus menjadi budaya masyarakat.
“Pemerintah harus memastikan bibit pohon yang diberikan benar-benar dirawat agar memberikan manfaat jangka panjang bagi generasi mendatang,” tambahnya.
Pendidikan juga diharapkan menjadi sarana untuk menanamkan nilai-nilai toleransi sejak dini. Menurut Suyitno, pembelajaran tentang cinta dalam kehidupan beragama dan sosial harus diajarkan secara sistematis melalui kurikulum sekolah.
“Gerakan cinta tanah air dan nasionalisme harus diperkuat melalui aksi nyata di tingkat masyarakat agar tercipta kehidupan yang harmonis dan inklusif,” katanya.
Dalam aspek keluarga, Suyitno menyoroti bahwa ketidakharmonisan dalam rumah tangga sering kali dipicu oleh faktor ekonomi, pola asuh anak, serta perbedaan latar belakang sosial dan budaya. Oleh karena itu, diperlukan program pendampingan keluarga yang membantu pasangan mengelola konflik dengan sehat.
“Pemerintah harus menyediakan kebijakan yang mendukung kesejahteraan keluarga untuk mengurangi angka perceraian,” tegasnya.
Bagikan: