Jakarta (Pendis) - Manajemen perencanaan dan keuangan di Kementerian Agama (Kemenag) belum maksimal. Hal ini dibuktikan tidak seimbangnya antara serapan yang mencapai 94% dengan outputnya yang baru 64%. Oleh karena itu, ada model manajemen yang baru yaitu, cascading. Dalam model manajemen ini, antara input (anggaran), SDM, output (keluaran) serta outcome-nya harus linear. Demikian yang disampaikan Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Sesditjen Pendis), Moh. Isom Yusqi, di Jakarta ketika berbicara pada Workshop Pembahasan Juknis Bantuan Sarana dan Prasarana Dit. PD-Pontren, Rabu (22/03/2017).
Contoh perencanaan pada Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren (Dit. PD-Pontren) yang harus cascade, sambung guru besar IAIN Ternate yang pernah nyantri di salah satu pesantren salafiayah di Malang-Jawa Timur ini, anggaran dan perencanaan dari pusat sampai daerah harus di-drive oleh Dit. PD-Pontren.
"Jadi dana yang ada di Kanwil Kemenag Propinsi dan Kabupaten/Kota harus "sama dengan" yang ada di Dit. PD-Pontren. Oleh karena itu, dana yang kita bagi setelah dari DPR dan Bappenas, langsung di-glondongkan ke daerah. Dana 900 Milyar misalnya, dibagi untuk pusat dan daerah, 900M ini harus di-drive, disamakan dengan kebijakan yang ada di pusat," kata Sesditjen Pendis.
Strategi dalam menyamakan program dan anggaran ini, kata Isom, salah satunya adalah dengan mengumpulkan pejabat di propinsi. Pejabat yang di propinsi juga kemudian harus mengkoordinasikan dengan pemangku kepentingan yang ada di kabupaten/kota. "Semua Kepala Bidang Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren (Kabid PD-Pontren) di semua wilayah secara hirarkis, memanggil kasi-kasi di kab/kota. Hal ini dilakukan agar pusat sampai daerah serempak, seragam, sama; baik program dan peletakan akunnya. Sehingga dari tahun ke tahun tidak membuat kegiatan yang sama," tutur alumnus IAIN Maulana Malik Ibrahim ini.
Berbicara pola anggaran yang ada di Kementerian Agama, Isom Yusqi mengatakan bahwa Kemenag berbeda dengan kementerian lain. Kemenag bersifat sentralistik dalam segala hal termasuk dalam anggaran namun tetap melibatkan daerah sebagai stakeholder dalam menentukan kebijakan. "Pelibatan pejabat daerah yang bottom up ini adalah bukti bahwa Kemenag tidak sentralistik mutlak. Namun dalam masalah revisi anggaran misalnya, Kemenag Propinsi dan Kabupaten/Kota harus sepengetahuan dan seijin Kemenag Pusat. Makanya Pejabat Kemenag Pusat harus tahu betul dengan anggaran yang ada di daerah," kata Isom. (@viva_tnu/dod)
Bagikan: