Prof Amien Suyitno (Dirjen Pendidikan Islam) pada Halaqah Mingguan AWM (28/3/2025)
Jakarta (Pendis) – Lailatul Qadar, malam yang lebih baik dari seribu bulan, selama ini dipahami sebagai momentum spiritual istimewa yang hanya terjadi sekali dalam setahun. Namun, di balik keistimewaannya, tersimpan makna mendalam yang kerap luput: bahwa kedamaian yang dibawanya bukan sekadar suasana malam, melainkan ajakan untuk hidup yang penuh kebermaknaan.
Pandangan ini disampaikan oleh Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI, Prof. Amien Suyitno, dalam halaqah mingguan yang diselenggarakan secara daring oleh Kyai Abdul Wahid Maktub pada Jum’at (28/3/2025) malam. Dalam refleksinya, Prof. Amien menekankan bahwa Lailatul Qadar bukan hanya peristiwa masa lalu. Kata tanazzalu dalam ayat Tanazzalul malaaikatu war-ruhu fiha menunjukkan bahwa ia bersifat terus-menerus, berlangsung, dan akan terus hadir.
Ia juga mengkritisi pendekatan yang hanya fokus pada tanda-tanda fisik malam seribu bulan, seperti suasana sejuk atau matahari tidak menyilaukan. “Dari hasil riset empiris dengan data BMKG, tak ada perbedaan signifikan pada parameter cuaca di sepuluh hari terakhir Ramadan,” ungkapnya. Hal ini menurutnya memperkuat pendekatan spiritual dan kontekstual yang diusung oleh Kyai Abdul Wahid: bahwa Lailatul Qadar adalah momentum batin, bukan hanya fenomena alamiah.
Dalam perspektif Prof. Suyitno -panggilan akrabnya-, kedamaian yang dibawa Lailatul Qadar sejatinya adalah jalan menuju kebahagiaan hakiki (al-falah). Ia mengaitkan makna kedamaian (salaamun hiya hatta matla’il fajr) dengan tiga bentuk kebahagiaan menurut psikologi positif yang juga relevan dengan nilai-nilai Islam:
Pertama adalah have a pleasant life—hidup yang menyenangkan dan penuh syukur.
Kedua adalah have a good life—hidup yang penuh keterlibatan.
Dan yang ketiga, puncaknya, adalah have a meaningful life—hidup yang bermanfaat, memberi kontribusi, dan dirasakan maknanya oleh orang lain.
Ia menyatakan bahwa Lailatul Qadar seharusnya menjadi pendorong bagi umat Islam untuk tidak hanya mengejar pahala, tetapi juga menjalani hidup yang damai, inklusif, dan penuh makna.
Lebih lanjut, Prof. Suyitno menegaskan pentingnya keberagamaan yang ramah dan tidak menyakiti. “Beragama tidak boleh membuat orang lain merasa tersingkir. Justru Islam hadir untuk memuliakan semua manusia. Allah pun memuliakan seluruh anak cucu Adam tanpa kecuali,” ujarnya.
Acara halaqah ini dihadiri oleh sejumlah cendekiawan dan ulama dari berbagai universitas di Indonesia. Diantaranya adalah Kyai Abdul Wahid Maktub, Prof Imam Suprayogo dan Profesor Mohamad Bashar Arafat dari Amerika Serikat—pendiri dan Presiden Civilizations Exchange and Cooperation Foundation (CECF) dan Al-Basheer, yang membagikan perspektif tentang bagaimana Islam dipraktikkan secara damai di Amerika serta pentingnya menjembatani dialog antarperadaban.
Prof. Suyitno juga menegaskan bahwa Kementerian Agama terus mendorong model keberagamaan yang menyenangkan dan membebaskan. “Kedamaian adalah tanda hadirnya Lailatul Qadar. Dan kedamaian sejati adalah ketika kita hidup dalam syukur, keterlibatan sosial, dan kontribusi bagi sesama,” pungkasnya.
Tags:
RamadanpediaBagikan: