Saat ini posisi pengawas Pendidikan Agama Islam tengah menghadapi pertanyaan dan dilema yang meresahkan. Setelah diberlakukannya Permenpan RB Nomor 1 Tahun 2023 tentang Jabatan Fungsional yang menganulir banyak regulasi termasuk di bidang Pendidikan (regulasi guru dan pengawas) membuat pengawas PAI banyak bertanya-tanya, jika malah tidak ingin dikatakan kebingungan.
Hal ini karena pengawas PAI berada dalam kelindan regulasi yang menempatkan para pengawas PAI dalam situasi “bagaikan makan buah simalakama” di internal maupun eksternal Kementerian Agama. Secara internal Kementerian Agama, terbitnya PMA Nomor 2 Tahun 2012 tentang tentang Pengawas Madrasah dan Pengawas Pendidikan Agama Islam (PAI) Pada Sekolah sebenarnya menandai babak baru keberadaan dan rekognisi Pengawas PAI.
Terkait erat dengan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, terbitnya PMA Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengawas Madrasah dan Pengawas Pendidikan Agama Islam (PAI) pada Sekolah merupakan regulasi pertama sebagai dasar rekrutmen pengawas Pendidikan Agama Islam (PAI) pada sekolah, di tengah kesan “termarjinalisasi”nya guru-guru PAI pada sekolah (Ia Hidarya, 2016).
Namun demikian, pada kelanjutannya, PMA Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengawas Madrasah dan Pengawas Pendidikan Agama Islam (PAI) pada Sekolah juga menjadi penyebab terjadinya banyak problem bagi pengawas PAI. Regulasi ini menyebut bahwa Pengawas PAI sebagai penjamin mutu hanya bertugas melakukan pengawasan akademik tanpa manajerial, sehingga mereka tidak mendapatkan hak yang sama dengan pengawas madrasah. Akibat lebih jauhnya, para pengawas PAI terkendala dalam kenaikan golongan dan kenaikan jenjang jabatan.
Selain kondisi tidak mudah tersebut, beban lain juga membayangi. Nomenklatur pengawas sekolah sesuai dengan regulasi instansi pembina (Kemendikbud, Permendikbud Nomor 143 Tahun 2014 Tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Jabatan Fungsional Pengawas Sekolah dan Angka Kreditnya) menegaskan bahwa “jabatan fungsional pengawas mempunyai ruang lingkup tugas, tanggung jawab, dan wewenang untuk melaksanakan kegiatan pengawasan akademik dan manajerial pada satuan pendidikan.”
Secara kesejahteraan, para pengawas PAI juga mengalami nasib yang tidak mengenakkan. Pembayaran selisih tunjangan kinerja (tukin) khusus Guru PAI dan Pengawas PAI baru bisa dibayarkan selisihnya sejak tahun 2018, sementara Guru dan Pengawas Madrasah mulai tahun 2015. Di tengah sengkarut tersebut, terbitnya Surat Edaran Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor 1111/DJ.1/PP.02.2/03/2019 tentang Pengawasan Akademik dan Manajerial Pengawas Pendidikan Agama Islam tidak bisa berjalan dengan maksimal dalam implementasinya karena terjadi fakta ego sektoral di daerah, mulai dari birokrasi hingga konteks kepengawasan itu sendiri yang intinya tidak memberikan aspek pengawasan manajerial kepada pengawas PAI.
Sementara itu, secara eksternal (Kemendikbud), posisi pengawas PAI terkendala terkait kenaikan pangkat dan golongan yang penilaiannya dilakukan oleh mereka. Pada saat dilakukan penilaian, terdapat unsur yang belum terpenuhi, yaitu unsur manajerial. Problem ini terus berlanjut dalam aktivitas harian di mana pengawas PAI hanya dimungkinkan melakukan pengawasan akademik kepada guru PAI. Sayangnyanya, dalam kaitan sengkarut ini, paradigma kurikulum merdeka menekankan basis kepengawasan berupa pendampingan kepada kepala sekolah yang dilakukan melalui rapor pendidikan untuk mengukur dan mengevaluasi program kedepan dengan siklus yang sudah baku.
Dari beberapa gambaran di atas dapat dipahami latar belakang sikap para pengawas PAI yang bertanya-tanya terhadap munculnya Permenpan RB Nomor 1 Tahun 2023 tentang Jabatan Fungsional tersebut. Pertanyaan tersebut berakar pada kegelisahan seputar kebenaran posisi pengawas PAI sudah tidak ada lagi pasca berlakunya regulasi Permenpan RB Nomor 1 Tahun 2023 tentang Jabatan Fungsional.
Anatomi Regulasi Pengawas PAI
Boleh jadi, kegelisahan yang dialami pengawas PAI berasal dari beredarnya wacana paradigma pengawas yang baru, yaitu pengawas sekolah bukan pengawas mata pelajaran, padahal dalam Permendikbud Nomor 143 Tahun 2014 tentang Jabatan Fungsional Pengawas Sekolah dan Angka Kreditnya disebutkan adanya pegawas mata pelajaran.
Dalam situasi demikian, terdapat pihak yang memanfaatkan situasi kegalauan pengawas PAI dengan mengumbar diksi pengawas PAI akan bubar dalam waktu yang tidak lama lagi.
Kegelisahan tersebut dalam beberapa hal dapat dimengerti. Pasalnya, Permenpan RB Nomor 1 Tahun 2023 tentang Jabatan Fungsional menganulir ratusan regulasi dalam konteks jabatan fungsional. Namun demikian, dalam amatan penulis, Permenpan RB Nomor 1 Tahun 2023 tentang Jabatan Fungsional belum bisa dijadikan alasan untuk menyatakan bahwa pengawas PAI sdh tidak ada lagi.
Sebaliknya, justru sebagai instansi pengelola dan pembina dalam hal pendidikan agama dan keagamaan (Kemenag), Kemenag perlu melakukan pendalaman dan koordinasi intensif ke instansi pembina (Kemendikbudristek).
Inisiatif seperti ini diperlukan terkait nasib dan peran pengawas PAI dalam kurikulum merdeka. Idealnya, terdapat payung hukum (Perdirjen GTK Kemendikbudristek) yang menaungi kerja pengawas sekolah dengan rujukan regulasi pengawas yang lama. Di dalamnya, perlu Langkah akomodatif terhadap peran pengawas PAI di sekolah karena PAI harus diampu sesuai dengan bidangnya.
Koordinasi tersebut juga menjadi urgen mengingat isu peran pengawas sekolah yang terbaru dan uji kompetensi bagi Jabatan Fungsional Guru dan jabatan fungsional pengawas. Kita harapkan, dalam masalah pengawas, regulasi yang digunakan masih menggunakan regulasi yang ada yaitu, Permenpan RB Nomor 21 Tahun 2010 tentang Jabatan Fungsional Pengawas Sekolah dan Angka Kreditnya serta Permendikbud Nomor 143 Tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Jabatan Fungsional Pengawas Sekolah dan Angka Kreditnya.
Meski Permenpan RB Nomor 1 Tahun 2023 tentang Jabatan Fungsional menganulir banyak regulasi, termasuk jabatan fungsional pengawas dan guru, namun regulasi tersebut tidak langsung menghapus semuanya, melainkan masih dapat digunakan sepanjang tidak bertentangan dan belum diubah.
Oleh karenanya, diharapkan Kemendikbudristek masih menjadikan regulasi tentang pendidikan yang ada sebagai rujukan sampai ada turunan yang mengatur hal tersebut. Dengan demikian, keberadaan pengawas sekolah termasuk pengawas PAI masih aman seperti dahulu. Perbedaan peran pengawas yang baru menjadi sebuah tantangan bagaimana pengawas dalam melakukan pendampingan kepada kepala sekolah.
Dalam hal uji kompetensi, Kemendikbudristek mengeluarkan regulasi Permendikbudristek Nomor 29 Tahun 2023 tentang Uji Kompetensi Jabatan Fungsional Guru, Jabatan Fungsional Pamong Belajar, Jabatan Fungsional Pengawas Sekolah, dan Jabatan Fungsional Penilik. Regulasi tersebut menjelaskan bahwa ASN yang akan diangkat dalam JF pengawas sekolah, JF Guru dan JF Pengawas sekolah yang akan dipromosikan untuk kenaikan jenjang jabatan 1 (satu) tingkat lebih tinggi harus mengikuti dan lulus uji kompetensi teknis, kompetensi manajerial, dan kompetensi social kultural.
Regulasi ini efektif mulai berlaku per juli tahun 2023 karena amanat permenpan RB Nomor 13 tahun 2019 tentang Pengusulan, Penetapan, dan Pembinaan Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil. Dalam pelaksanannya, ada masa peralihan selama tiga tahun sejak diundangkan.
Pelaksanaan uji kompetensi dilakukan oleh instansi pembina yaitu Kemendikbudristek. Oleh karenanya, sebagai instansi pengguna, Kementerian Agama perlu melakukan sinergi dengan berbagai pihak untuk menyusun formasi dan mendapatkan rekomendasi guna melakukan pengusulan uji kompetensi bagi guru dan pengawas PAI.
Artikel ini telah diedit oleh Saiful Maarif (Asesor SDM Aparatur Kemenag/Kasub Tim Kesiswaan pada Subdit PAUD/TK Direktorat PAI Ditjen Pendis)
Bagikan: