Jakarta (Kemenag) — Direktur Jenderal Pendidikan Islam, Amien Suyitno, menegaskan bahwa Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) merupakan ikhtiar nyata untuk menjawab tantangan pendidikan Islam masa kini yang dinilai mulai kehilangan ruh kedamaian, nilai, dan makna.
“Kita harus akui, masih banyak praktik pendidikan agama yang kering makna, cenderung rutinitas, bahkan melahirkan ujaran kebencian. KBC hadir untuk mengembalikan ruh cinta dalam pendidikan Islam,” kata Amien saat membuka Uji Publik KBC di Jakarta, Selasa (15/4/2025).
Menurutnya, pendidikan seharusnya tidak hanya mengajarkan hafalan dan doktrin, tetapi menanamkan nilai spiritual, kasih sayang, dan tanggung jawab sosial. “Kita ingin melahirkan generasi yang bukan hanya cerdas secara kognitif, tapi juga berjiwa damai, berakhlak, dan mencintai sesama serta lingkungannya,” ungkapnya.
Amien menekankan bahwa cinta dalam konteks pendidikan adalah fondasi spiritual dan sosial. “Ini bukan kurikulum bercinta, tapi kurikulum yang menghidupkan cinta—kepada Tuhan, kepada bangsa, kepada kehidupan,” tegasnya.
Jawaban atas Keresahan Sosial
Kurikulum Berbasis Cinta menjadi bagian dari respons Kementerian Agama terhadap fenomena menurunnya nilai-nilai toleransi, empati, dan kepedulian sosial di kalangan pelajar. “Kita perlu pendidikan yang menumbuhkan bukan hanya pengetahuan, tetapi juga kebijaksanaan,” ujar Amien.
Direktur KSKK Madrasah, Nyayu Khodijah, dalam laporannya menyampaikan bahwa KBC telah dikembangkan sejak Januari 2025 dan telah melewati lima tahap revisi. Uji publik juga dilaksanakan secara menyeluruh, melibatkan para ahli pendidikan, tokoh agama, guru, kepala madrasah, hingga akademisi dari dalam dan luar negeri.
“Ini bukan kurikulum instan. Ini hasil dari refleksi panjang dan kolaborasi banyak pihak. Kami ingin pendidikan Islam menjadi ruang tumbuh yang ramah, inklusif, dan bermakna,” jelas Nyayu.
Rencananya, KBC akan mulai disosialisasikan pada Mei hingga Juni 2025, dan diimplementasikan secara terbatas pada Juli 2025. Madrasah model akan dijadikan tempat uji coba, termasuk untuk guru PAI, ustaz/ustazah, dan lembaga keagamaan lainnya.
Evaluasi menyeluruh terhadap kurikulum ini akan dilakukan hingga akhir 2026 untuk menjamin efektivitas dan kontinuitasnya.
“Kami ingin membentuk ekosistem pendidikan yang sehat dan damai, bukan hanya mengajarkan anak-anak untuk pintar, tapi juga untuk bijak dan penuh kasih,” pungkas Nyayu.
Bagikan: