Jakarta (Kemenag) — Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI tengah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap keberadaan dan fungsi Komite Madrasah melalui Focus Group Discussion (FGD) yang digelar di Hotel Best Western, Cawang, Jakarta, Selasa (1/7/2025). FGD ini secara khusus membahas peninjauan terhadap Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 16 Tahun 2020 tentang Komite Madrasah, serta mengkaji efektivitas petunjuk teknis (juknis) yang selama ini digunakan di lapangan.
Direktur Jenderal Pendidikan Islam, Amien Suyitno, dalam arahannya menekankan pentingnya memastikan fungsi Komite Madrasah berjalan sesuai amanat regulasi.
“Kita perlu memastikan bahwa keberadaan komite tidak hanya bersifat administratif, tetapi menjadi mitra strategis kepala madrasah dalam merancang dan melaksanakan program pendidikan,” tegasnya.
Ia juga menyoroti perlunya pengawasan terhadap struktur keanggotaan komite yang idealnya harus mencerminkan prinsip inklusivitas dan sesuai dengan unsur-unsur yang diatur dalam Keputusan Menteri Agama.
“Apakah struktur komite sudah sesuai dengan KMA? Apakah unsur orang tua, tokoh masyarakat, dan profesional sudah terwakili? Ini perlu dikaji dan diawasi secara berkala,” tambahnya.
Prof. Amien juga menekankan pentingnya interaksi aktif antara kepala madrasah dan komite dalam setiap tahapan, mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan program.
“Keterlibatan komite tidak boleh sekadar seremonial. Harus ada ruang dialog dan kolaborasi dalam setiap proses pengambilan keputusan,” tegasnya.
Salah satu isu krusial yang dibahas adalah masa jabatan pengurus komite yang kerap tidak terpantau. Ia mencontohkan kasus di mana pengurus komite masih aktif meski anaknya telah lulus dari madrasah.
“Ini perlu diatur. Masa jabatan harus diperjelas dan ditetapkan secara tegas,” ujarnya.
Dirjen Pendis juga menyoroti perlunya transparansi dalam pengelolaan dana komite agar tidak tumpang tindih dengan anggaran DIPA madrasah.
“Transparansi adalah kunci. Kita tidak ingin muncul narasi negatif tentang pengelolaan dana yang bisa merusak citra madrasah. Komite harus menjadi teladan dalam akuntabilitas,” jelasnya.
FGD juga mengangkat tantangan pengelolaan madrasah di wilayah terpencil, minimnya guru ASN, serta keterbatasan anggaran. Dalam konteks ini, peran komite menjadi sangat strategis untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam pengembangan sarana dan peningkatan kualitas layanan pendidikan.
“Jika regulasi yang ada masih multitafsir atau berpotensi disalahgunakan, tentu perlu disempurnakan. Tujuannya adalah menciptakan sistem tata kelola pendidikan madrasah yang partisipatif, akuntabel, dan transparan,” pungkas Prof. Amien.
Inspektur Jenderal Kemenag, Khairunas, turut mengingatkan bahwa pengangkatan guru harus mengikuti mekanisme PPPK sesuai PP No. 49 Tahun 2019. Namun, ia mencatat bahwa banyak madrasah justru menambah ruang kelas baru (RKB) tanpa mempertimbangkan ketersediaan guru.
“Jangan sampai muridnya bertambah, tapi gurunya tidak cukup. Kita tidak boleh gegabah,” ujarnya.
Ia juga mengungkap adanya catatan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengenai potensi penyalahgunaan dana komite.
“Jika tidak segera dibenahi, bisa saja muncul usulan pembubaran komite. Ini tentu menjadi ancaman serius bagi eksistensi komite madrasah,” tegasnya.
Khairunas menyarankan agar juknis komite ditelaah kembali agar tidak bertentangan dengan regulasi yang lebih baru. Ia juga membuka peluang kolaborasi dengan Itjen Kemenag dalam menyusun revisi regulasi.
“Dari tiga PMA yang pernah mengatur soal komite, hanya satu yang cukup lengkap. Redaksi regulasi yang normatif seperti ‘boleh’, ‘dapat’, justru membuka ruang tafsir yang berbeda-beda. Harus ada ketegasan dalam setiap pasal,” katanya.
Sekretaris Ditjen Pendis, M. Arskal Salim GP, turut menyoroti pentingnya struktur organisasi komite dan interaksi sehat antara orang tua dan pihak madrasah. Ia mendorong agar setiap komite memiliki SOP yang jelas terkait pengelolaan dana dan masa jabatan.
“Komite yang masih aktif padahal anaknya sudah lulus harus ditertibkan. Masa jabatan perlu dibatasi, dan audit internal serta evaluasi berkala perlu dijalankan,” tuturnya.
FGD ini menjadi momentum penting untuk mereformulasi tata kelola Komite Madrasah secara nasional. Prof. Amien Suyitno menegaskan bahwa evaluasi PMA dan juknis bukan untuk melemahkan komite, melainkan memperkuatnya sebagai mitra strategis dalam pembangunan pendidikan Islam yang berkualitas.
“Regulasi harus adaptif. Jika ditemukan multitafsir, tentu akan kami revisi. Komite tidak untuk dibubarkan, melainkan diperkuat dan diawasi agar tetap dipercaya publik,” tandasnya.
Sementara itu, Direktur KSKK Madrasah, Nyayu Khodijah, menyampaikan bahwa masih banyak Komite Madrasah yang belum mematuhi PMA dan Kepdirjen yang berlaku. Ia menekankan perlunya sosialisasi regulasi secara masif serta penegakan aturan yang konsisten di seluruh satuan pendidikan.
“Kami juga terbuka terhadap masukan untuk merevisi PMA, terutama jika ditemukan pasal-pasal yang belum dirumuskan secara rinci dan masih multitafsir. Kami berkomitmen menindaklanjuti seluruh arahan dan masukan dalam forum ini untuk memperkuat tata kelola komite yang transparan dan akuntabel,” tegas Nyayu.
Bagikan: