Jakarta — Di tengah gempuran arus informasi, radikalisme digital, dan polarisasi sosial yang kian nyata, muncul secercah harapan dari dunia pendidikan Islam: Kurikulum Berbasis Cinta (KBC). Bukan sekadar wacana, tetapi sebuah pendekatan baru yang mencoba mengembalikan pendidikan pada fitrahnya—yakni menumbuhkan manusia utuh yang tidak hanya cerdas pikir, tapi juga lapang hati dan dalam nurani.
“Pendidikan Islam harus kembali ke fitrahnya, yaitu cinta,” ujar Amien Suyitno, Direktur Jenderal Pendidikan Islam, dalam sambutannya yang sarat makna saat membuka Uji Publik KBC di Jakarta, Selasa (15/4/2025).
Pernyataan itu bukan basa-basi. Ia muncul dari keprihatinan mendalam: masih adanya ujaran kebencian, kekerasan simbolik, bahkan intoleransi yang, ironisnya, kadang lahir dari ruang-ruang pendidikan agama.
Pendidikan yang Merawat Jiwa
KBC bukan sekadar perubahan isi kurikulum. Ia adalah napas baru dalam dunia pendidikan Islam, yang selama ini kerap terjebak pada pengajaran yang normatif dan tekstual. KBC hadir sebagai upaya menyentuh sisi terdalam manusia: perasaan, kesadaran, dan cinta.
“Di mana ada cinta, di situ ada kehidupan,” kutip Amien dari Mahatma Gandhi, untuk menggambarkan filosofi dasar KBC.
Cinta di sini bukan cinta remaja yang dangkal, bukan pula romantisme kosong. Ini cinta dalam pengertian spiritual, moral, dan sosial. Cinta yang melahirkan tanggung jawab pada diri sendiri, pada sesama, pada lingkungan, dan pada bangsa.
Dari Madrasah ke Masyarakat
Direktur KSKK Madrasah, Nyayu Khodijah, menyebut KBC sebagai “jiwa dari kurikulum”. Bukan pengganti, tapi pengayaan. Ia dibangun dari serangkaian dialog panjang, revisi mendalam, dan keterlibatan lintas sektor.
“Kurikulum ini bukan lahir di ruang kosong. Ia tumbuh dari kekhawatiran dan harapan banyak orang: guru, tokoh agama, akademisi, bahkan cendekiawan internasional,” ungkap Nyayu.
Dalam prosesnya, KBC telah melalui lima tahap uji publik, melibatkan ribuan peserta dari berbagai latar belakang. Bahkan guru besar dari Australian National University (ANU) Australia turut hadir, menjadi saksi bahwa kurikulum ini bukan hanya milik Indonesia, tapi bisa menjadi rujukan dunia.
Cinta yang Terwujud dalam Aksi
Apa wujud cinta dalam pendidikan? Menurut Amien, itu bisa dimulai dari hal sederhana: guru yang mengajar dengan cinta, siswa yang belajar dengan cinta, dan orang tua yang mendampingi dengan cinta. Bahkan gerakan menanam pohon pun, jika dilandasi cinta pada bumi, menjadi bagian dari pendidikan itu sendiri.
KBC akan mulai diujicobakan pada tahun ajaran 2025/2026. Evaluasi akan terus dilakukan hingga akhir 2026, memastikan ia bukan sekadar slogan, tapi benar-benar menyentuh dan mengubah.
“Ini bukan proyek birokrasi. Ini gerakan hati,” kata Amien.
Pendidikan Sebagai Cahaya
Kurikulum Berbasis Cinta bukan sekadar dokumen. Ia adalah ajakan untuk melihat kembali pendidikan sebagai ruang pertumbuhan manusia seutuhnya. Bukan pabrik nilai rapor, tapi taman yang menumbuhkan rasa ingin tahu, kasih, dan empati.
“Kita ingin generasi yang bukan hanya pintar, tapi penuh cinta. Karena dengan cinta, pendidikan jadi cahaya. Tanpa cinta, ia bisa berubah jadi bara,” pungkas Amien.
Bagikan: