Jakarta (Pendis) - Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) tidak memaksa pesantren mengikuti Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang rumuskannya. Demikian terungkap dalam Diskusi Publik BSNP yang digelar Jum'at kemarin (13/12), di Century Park Hotel, Jakarta.
"Jika diatur, fleksibiltas pesantren hilang," ujar Hamid Muhammad Ph.D, anggota BSNP, menjawab pertanyaan peserta tentang implementasi SNP dalam Pendidikan Diniyah Formal (PDF) dan Satuan Pendidikan Muadalah (SPM).
Sebagaimana diketahui, setelah UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren, Kementerian Agama sedang melakukan redefinisi pesantren dalam tiga fungsi: fungsi pendidikan, fungsi dakwah dan fungsi pemberdayaan masyarakat.
Dalam fungsi pendidikan, pesantren menyelenggarakan pendidikan diniyah formal dan pendidikan diniyah non-formal (pendidikan keagamaan).
Saat ini, pendidikan diniyah formal terdiri dari PDF dan SPM Wustha/Ulya setingkat MTs/MA atau SMP/SMA. Jumlahnya PDF mencapai 92 lembaga dengan 11 ribu santri dan SPM sebanyak 116 lembaga dengan 48 ribu santri. Ijazah kedua lembaga ini memiliki civil effect setara sekolah/madrasah.
Akan tetapi, penyelenggaraan PDF/SPM mempunyai perbedaan dengan sistem madrasah apalagi sekolah, maka kurang cermat jika mengacu pada standar nasional ini.
Dikatakan Hamid, yang sebelumnya Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), bahwa peraturan PDF/SPM sebaiknya tidak mengacu secara utuh pada SNP untuk menjaga kekhususan pesantren.
"Tetapi jika SNP menjadi acuan dalam penyelenggaraan PDF/SPM dipersilakan untuk dipertimbangkan," ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengatakan bahwa standarisasi pendidikan sangat penting. BSNP diminta untuk berjalan bersama dalam mengawal keberhasilan Pendidikan Nasional.
Sementara Ketua BSNP Dr. Abdul Mu'ti, M.Ed mengatakan bahwa SNP merupakan standar dan katalisator Pendidikan Nasional dalam rangka menjamin hak warga negara untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. (a3/dod)
Bagikan: