Bandung (Pendis) - Gelaran Festival Pendidikan al Qur`an yang dilaksanakan selama 2 (dua) hari (20-21/10) di Bandung-Jawa Barat dengan menghadirkan 10 metode membaca al Qur`an dan 3 metode mengahafal al Qur`an, tahfidz, adalah presentasi metodologi. "Festival Pendidikan al Qur`an bukan ajang kontestasi. Oleh karena itu, semangatnya adalah sebagai learning organisation, organisasi pembelajaran dikarenakan masing-masing presentator mempunyai standing position. Mereka punya usulan dan gagasan untuk saling belajar sehingga keilmuannya bisa berkembang," kata Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren (Dit. PD-Pontren), Ahmad Zayadi, kepada peserta Festival Pendidikan al Qur`an di Kota Bandung, Sabtu (20/10).
Sebagaimana program Kontrak Prestasi dalam pembelajaran kitab kuning yang telah berjalan di Dit. PD-Pontren, lanjut mantan pengajar di UIN Sunan Gunung Djati, pembelajaran al Qur`an harus semakin mudah dan tidak memerlukan waktu yang lama. "Kalau sekarang terdapat 23 metode untuk mempermudah, mempersingkat membaca dan menghafal al Qur`an, maka nantinya akan ada ratusan metode baru. Kalaupun sekarang ada diferisiansi dan perbedaan, maka hal ini bisa dijadikan sebagai benchmarking pendidikan al Qur`an," kata Zayadi yang pernah memimpin Sub Direktorat Pendidikan Diniyah Formal ini.
Berkaitan dengan perihal menuntut ilmu, tidak hanya ilmu-ilmu al Qur`an, Zayadi mengungkapkan bahwa dalam menuntut ilmu haruslah ada sanadnya, baik sanad keilmuan maupu sanad kejuangan. "Sanad keilmuan, tidak hanya keilmuan di pesantren akan tetapi juga pada nilai, norma, tradisi, dan budaya. Sedangkan sanad kejuangan, ilustrasinya adalah tentang Hari Santri; tidak akan ada 10 November kalau tidak ada resolusi jihad pada 22 Oktober," kata Direktur.
Dalam kaitannya dengan Pendidikan al Qur`an, lanjut Zayadi, tradisi sanad keilmuan adalah semangat untuk mengembangkan tradisi akademik yang menjadi tanggung jawabnya. "Kenaapa harus mengembangkannya? Dikarenakan tantangan sekarang berbeda dengan pendahulu kita," jelasnya.
Dengan merawat sanad keilmuan ini pula, lanjut Zayadi, menjadikan kita menjadi khalifah, bukan semata-mata seorang hamba, abdullah. "Sebagaimana termaktub dalam mu`jam mufahras lil alfadzil qur`an, secara esensi, khalifah adalah kreatifitas. Berbeda "hamba," yang konsepnya adalah ketundukan dan kepasrahan. Jadi bagaimana menjadikan santri-santri pribadi yang dilandaassi dengan ketundukan, kepatuhan dan kepasrahan kepada Allah dan penuh kreasi dan inovasi. Kalau bisa men-chemistri-kan khalifah dan abdullah, maka tantanganya adalah seberapa inovatifkah kita?," kata peraih gelar Doktor di Universitas Pendidikan Indonesia-Bandung ini.
Menurut catatan panitia, Festival Pendidikan al Qur`an, sehari setelah para pemilik ide metodologi membaca dan menghafal al Qur`an mempresentasikan metodologinya, Ahad (21/10), mereka akan diberi penghargaan pada Puncak Festival Pendidikan al Qur`an di Gedung Moch. Toha, Soreang-Bandung. (@viva_tnu/dod)
Bagikan: