Depok (Kemenag) — Kementerian Agama RI terus memperkuat perannya dalam membangun ekosistem pendidikan tinggi pesantren yang unggul dan relevan dengan tantangan zaman. Melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Kemenag tengah memfinalisasi regulasi Ma’had Aly Marhalah II (M2) dan Marhalah III (M3) dalam rapat koordinasi nasional yang digelar di Depok, 15–17 April 2025.
Rapat strategis ini melibatkan Majelis Masyayikh, asosiasi Ma’had Aly, serta jajaran pejabat Kemenag. Fokusnya: membangun kerangka regulatif yang tidak hanya menjamin kesinambungan akademik Ma’had Aly, tetapi juga mengokohkannya sebagai pusat keilmuan Islam yang berdaya saing global.
Sekretaris Ditjen Pendidikan Islam, Arskal Salim, menegaskan pentingnya lompatan kualitas pendidikan Ma’had Aly dalam menyongsong era baru.
"Pendidikan Ma’had Aly harus mengakar pada penguasaan ‘ilmu sumber’, namun juga mampu membaca zaman. Kami ingin lulusannya menjadi ulama intelektual—penguasa teks dan kontekstual," ujarnya.
Arskal juga menekankan pentingnya redefinisi sistem gelar di Ma’had Aly yang tetap khas namun kompatibel dengan Sistem Pendidikan Nasional.
“Gelar bukan sekadar formalitas. Ia harus mencerminkan kualitas dan jati diri pesantren. Termasuk kesiapan menyambut era teknologi dan kecerdasan buatan (AI),” tegasnya.
Penguasaan bahasa asing, lanjut Arskal, menjadi bekal mutlak bagi para mahasantri agar dapat berjejaring dan berkontribusi di panggung internasional.
Sementara itu, Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren, Basnang Said, menyoroti kontribusi nyata lulusan Ma’had Aly di tengah masyarakat.
“Mereka tampil sebagai penyuluh, pendidik, hingga aktivis sosial keagamaan. Kompetensi mereka khas, relevan, dan dibutuhkan zaman,” ungkapnya.
Basnang juga mendorong kemandirian kelembagaan Ma’had Aly, serta pentingnya membangun organisasi kemahasantrian seperti BEM, demi menumbuhkan kepemimpinan dan dinamika intelektual internal.
Kasubdit Pendidikan Ma’had Aly, Mahrus, menegaskan bahwa jenjang M2 dan M3 bukan sekadar kelanjutan administratif, melainkan transformasi kualitas.
“M2 dan M3 harus hadir sebagai ruang akademik yang menantang dan mendalam. Tidak cukup hanya dengan menambah kitab atau mengganti dosen. Harus ada pembaruan metodologis,” ujarnya.
Mahrus bahkan membuka wacana internasionalisasi Ma’had Aly, dengan menjajaki peluang ekspansi ke negara-negara bersejarah dalam peradaban Islam seperti Spanyol dan Uzbekistan.
Ketua Majelis Masyayikh, Abdul Ghaffar Rozin (Gus Rozin), memberikan catatan kritis: kualitas harus menjadi tolok ukur utama.
“Jumlah Ma’had Aly boleh tumbuh, tapi kualitas tak boleh kendor. M2 dan M3 harus dibangun dengan standar ketat dan pengajar sekelas doktor,” katanya.
Menurut Gus Rozin, regulasi M2 dan M3 juga harus selektif dan berorientasi pada keberlanjutan.
“Ini bukan jenjang untuk semua. Hanya untuk mereka yang serius mendalami ilmu dan berpotensi menjadi ulama rujukan dunia,” tandasnya.
Rapat ini ditargetkan menghasilkan draf regulasi yang bukan hanya kuat secara administratif, tapi juga mengusung visi besar: Ma’had Aly sebagai mercusuar keilmuan Islam yang mampu berdialog dengan peradaban global.
Bagikan: