Tangerang (Kemenag) - Kementerian Agama bersama Majelis Masyayikh terus memperkuat mutu pendidikan tinggi pesantren, khususnya pada jenjang Magister (Marhalah Tsaniyah) dan Doktoral (Marhalah Tsalitsah) Ma’had Aly. Penguatan ini diwujudkan melalui penyusunan standar mutu yang ketat dan bertahap sebagai fondasi Ma’had Aly menuju pusat keunggulan riset Islam berbasis kitab kuning/ turats.
Komitmen tersebut disampaikan dalam Halaqah Review Draf 1 Standar Mutu Marhalah Tsaniyah dan Tsalitsah, yang digelar Subdit Pendidikan Ma’had Aly, Ditjen Pendidikan Islam Kemenag RI, pada 2–4 Juni 2025 di Tangerang. Kegiatan ini melibatkan perwakilan Kementerian Agama, Majelis Masyayikh, para pengasuh pesantren, akademisi, serta praktisi pendidikan Islam.
Plh. Direktur Pesantren, Yusi Damayanti, dalam sambutannya menegaskan bahwa tantangan utama bukan hanya dalam penyusunan standar mutu, melainkan dalam proses sosialisasi dan implementasi di lapangan.
“Kadang regulasi sudah ditandatangani, tetapi lupa disosialisasikan secara menyeluruh. Apalagi prodi Ma’had Aly sangat spesifik, sehingga memerlukan usaha ekstra untuk diperkenalkan kepada publik,” ungkap Yusi.
Ia juga mengiyakan pesan Majlis Masyayikh bahwa standar mutu tidak boleh bersifat permisif.
“Aturan yang baik akan melahirkan pelaksanaan yang lebih berkualitas. Oleh karena itu, kita harus sungguh-sungguh dalam merancang standar mutu Ma’had Aly,” ujarnya.
Dalam konteks regulasi, Yusi menyarankan agar percepatan dilakukan melalui Keputusan Menteri Agama (KMA) sembari berproses menuju Peraturan Menteri Agama (PMA) jika dimungkinkan.
“Jika kebutuhan mendesak, KMA bisa menjadi solusi cepat. Namun, jika memungkinkan, PMA akan memberikan dasar hukum yang lebih kuat lagi karena melibatkan K/L lain,” tambahnya.
Senada dengan itu, Ketua Majelis Masyayikh, KH. Abdul Ghaffar Rozin, menegaskan bahwa penyusunan standar mutu tidak boleh instan. Menurutnya, Ma’had Aly adalah lembaga pendidikan pesantren yang strategis dalam mencetak generasi ulama yang tidak hanya mendalam dalam keilmuan agama, tetapi juga mampu menjawab tantangan zaman.
“Ma’had Aly merupakan pendidikan tinggi untuk reproduksi ulama. Kita ingin melahirkan insan yang faqih, yang selesai dengan dirinya sendiri, dan mampu menavigasi maslahat umat,” jelasnya.
Ia juga menyarankan benchmarking dengan lembaga keulamaan internasional seperti di Iran dan Maroko agar standar mutu yang disusun memiliki pijakan global yang kuat tanpa meninggalkan kekhasan lokal pesantren.
Sementara itu Sekretaris Majelis Masyayikh yang juga ketua tim percepatan regulasi M2 da M3, KH. Muhyiddin Khotib, menambahkan bahwa sistem berjenjang dalam Ma’had Aly harus ditopang oleh karakteristik akademik yang jelas dan terukur.
“Marhalah Tsaniyah (M2) adalah fase penguatan, sedangkan Marhalah Tsalitsah adalah fase inovasi (ibda’). Ini penting agar proses kaderisasi ulama berjalan berjenjang, utuh, dan mendalam,” ujarnya.
Adapun Kasubdit Pendidikan Ma’had Aly yang juga alumni doktoral UI, Mahrus, menyampaikan bahwa penyusunan standar mutu ini adalah langkah strategis untuk memperkuat posisi Ma’had Aly sebagai institusi pendidikan tinggi berbasis pesantren yang diakui secara nasional dan global.
“Penerapan standar mutu tinggi akan menjembatani pesantren ke dalam lanskap akademik global tanpa kehilangan jati dirinya,” ungkapnya.
Ia juga berharap, mulai tahun ini, Ma’had Aly akan mendapt dukungan dana riset dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) melalui Beasiswa Indonesia Bangkit (BIB), yang diharapkan dapat meningkatkan kapasitas keilmuan dan mendorong inovasi berbasis tradisi turats keilmuan Islam.
“Ini adalah peluang besar untuk menjadikan Ma’had Aly sebagai pusat keunggulan riset Islam yang khas dan progresif,” tuturnya.
Forum halaqah ini juga mencakup evaluasi keterbacaan dan relevansi dokumen standar mutu, serta mencari titik keseimbangan antara pendekatan compliance-based dan performance-based. Para peserta aktif memberikan masukan substansial yang akan memperkuat arah kebijakan mutu pendidikan tinggi pesantren agar lebih kokoh dan berkarakter.
Bagikan: