Jakarta (Pendis) - Demikian pernyataan Dr. Ahmad Zayadi selaku Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren (PD-Pontren) ketika melakukan Konsinyering Lembaga Pendidikan Keagamaan Islam di Jakarta, Selasa (17/04).
Dalam paparannya, Ahmad Zayadi menyampaikan bahwa regulasi setingkat undang-undang sangat dibutuhkan karena akan memberi jaminan terhadap keberlangsungan pendidikan keagamaan dan pesantren.
"Kepentingan kita dengan undang-undang adalah adanya jaminan pelaksanaan pendidikan sehingga tidak ada praktek diskriminatif. Hari ini kita melihat banyak pendidikan melaksanakan pendidikan non formal, maka anggarannya banyak tergerus karena tidak diperlakukan secara formal. Ketika kita diperlakukan secara formal dengan adanya regulasi, maka program dan anggaran akhirnya berpihak kepada kita, semisal BOS untuk pesantren," tegasnya dalam paparannya.
Bahkan menurut Zayadi, selama ini ada pemahaman bahwa pesantren hanya pendidikan murni dan disetarakan dengan sekolah formal lainnya. dan tidak dipahami sebagai lembaga keagamaan bahkan sosial kemasyarakatan. "Kesan tentang kondisi kepesantrenan bisa dipahami oleh orang-orang pesantren dan telah lama bergelut dengan pesantren. Tetapi ketika berhadapan dengan orang lain, ternyata pesantren dipahami sebagai pendidikan murni, padahal kepentingan masyarakat dengan didirikannya pesantren adalah spesialisasi pendidikan keagamaan. Sehingga kita harus menjelaskan bahwa pesantren selain lembaga pendidikan juga sebagai lembaga keagamaan dan sosial kemasyarakatan," ujar Zayadi.
Hal senada juga disampaikan oleh Prof. Dr. Amal Fathullah, selaku Ketua Forum Komunikasi Pesantren Mu`adalah seraya mengisahkan pengalamannya. "Dunia pesantren tidak persis sekolahan. Kami pernah bersama pengasuh pesantren menghadap BSNP. Kami memaparkan kehidupan pendidikan di pesantren. Ternyata komentar BSNP adalah bahwa pesantren sudah lebih dari standar minimal, bahkan standar maksimal sekalipun sudah terlampaui. Karena pesantren sudah menggabungkan kegiatan intrakulikuler, ekstrakulikuler, dan kokurikuler dalam kesehariannya," tegas Amal Fathullah.
Sedangkan mengenai kebutuhan Undang-Undang tentang Pendidikan Keagaman dan Pesantren yang sedang dalam proses pengajuan ke Badan legislatif, menurutnya harus segera direalisasikan. Demi masa depan pesantren.
"Perlu ada perlakuan khusus untuk pesantren kendati nanti ada yang tidak rela atas perlakuan negara kepada kita. Tetapi kita bisa menjelaskan dan harus meyakinkan bahwa pendidikan sekolah dan madrasah di luar pesantren itu hanya 5-7 jam sehari saja. Sedangkan pendidian di pesantren ini melakukan pelayanan selama 24 jam penuh. Maka perlu ada undang-undag khusus yang mengatur keberlangsuang pesantren ini," imbuh Guru besar UNIDA Gontor ini.
Kegiatan konsinyering ini dilakukan selama dua hari di Jakarta. Diinisiasi oleh Direktorat PD-Pontren bersama Forum Komunikasi Pesantren Mu`adalah (FKPM). Targetnya adalah nota kesepahaman dan penyamaan persepsi tentang kebutuhan regulasi yang mengatur pesantrean dan pendidikan keagamaan. Hadir pula dalam kegiatan ini, beberapa kiai dari Pesantren Mu`adalah se Indonesia, Dr. KH. Tata Taufik selaku Presiden Pengasuh Pesantren Indonesia (PPI), Dr. Ainurrafiq Dawam selaku Kasubdit Pendidikan Diniyah dan Ma`had Aly, Dr. A. Rafiq Zainul Mu`im selaku Kasi Kurikulum pada Subdit Pendidikan Diniyah dan Ma`had Aly, serta elemen lainnya. (rfq/dod)
Bagikan: