Jakarta (Pendis) - Pasca Rancangan Undang-Undang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan (RUU PPK) disahkan oleh Badan Legislasi (Baleg) sebagai RUU inisiasi DPR RI, Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) Rancangan Undang-Undang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan pada 26-27 September 2018 di Jakarta.
FGD diikuti jajaran Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, perwakilan PBNU, RMI NU, ITMAM (Ittihadul Ma`ahid Al muhammadiyah), AMALI (Asosiasi Ma`had Ali Indonesia), P2I (Perhimpunan Pengasuh Pesantren Indonesia) ASPENDIF (Asosiasi Pendidikan Diniyah Formal), FKDT (Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah), FKPM (Forum Komunikasi Pesantren Muadalah) dan tenaga ahli/drafter Baleg DPR RI dari Fraksi PPP dan PKB.
Secara umum para pimpinan lembaga di atas mendorong RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan untuk segera disahkan sebagai langkah strategis rekognisi negara kepada pesantren, apalagi demi menghadapi tantangan kehidupan di masa depan.
Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Ahmad Zayadi menjelaskan bahwa forum ini difokuskan untuk menyusun DIM (daftar inventaris masalah) RUU PPK dari berbagai stakeholders yang ada agar RUU PPK yang nantinya akan disahkan di sidang paripurna DPR RI menjadi Undang-Undang benar-benar sebagai landasan yuridis.
"Landasan tersebut yang memadai dalam memberikan rekognisi (pengakuan, red) yang berpijak pada kekhasan dan keunikan sekaligus pentingnya pengembangan kapasitas kelembagaan dalam pengelolaan pesantren dan lembaga pendidikan keagamaan di Indonesia," terang Zayadi saat membuka FGD itu.
Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma`hadil Islamiyah (RMI) KH Abdul Ghaffar Rozin menerangkan bahwa RUU Pesantren merupakan rekognisi negara terhadap pesantren tanpa pamrih dan tanpa syarat. Rekognisi negara itu juga menghargai dan mengakui tradisi yang selama ini berkembang di pesantren, karena selama ini sudah terbukti menjaga moral bangsa.
"Subtansi rekognisi itu lebih penting daripada terburu-buru karena menyesuaikan momentum-momentum tertentu. Maka perlu mendengarkan aspirasi-aspirasi dari pihak terkait," terang kiai akrab disapa Gus Rozin.
Selain itu Ketua FKDT Pusat Lukman Hakim menanggapi RUU Pesantren harus betul-betul mengakomodir komponen pendidikan keagamaan saat ini yang punya komitmen mempertahankan nilai-nilai keagamaan dan kebangsaan, entah itu yang kini telah ada maupun yang nanti akan ada.
"Harus diminimalisir dari kepentingan personal/kelompok, sehingga RUU ini benar-benar mengayomi masyarakat Islam. Bahwa pendidikan keagamaan ini merupakan pemegang kendali kehidupan kebangsaan," tegas Lukman.
Senada dengan sikap di atas, Ketua ITMAM Yunus Muhammad mengapresiasi ada RUU Pesantren, dan menyarankan agar RUU ini tidak terfokus pada pesantren sebagai lembaga pendidikan saja, namun aspek sebagai agen-agen lain perlu dibahas. "Aspek pemberdayaan masyarakat perlu dibahas agar bisa masuk dalam RUU Pesantren," imbau Yunus.
Sedangkan bagi perwakilan dari FKPM membayangkan RUU Pesantren akan membawa pendidikan pesantren untuk ditawarkan kepada masyarakat dunia, sebagai upaya menyiapkan pesantren di masa depan. "Kita yang ingin mengangkat pesantren, maka kita harus serius sehingga bisa `marketable` menjadi tujuan pendidikan Islam dunia," yakinnya.
Adapun perwakilan PDF menekankan bahwa yang paling penting adalah substansi dari RUU Pesantren. Maka pihaknya akan terus mengawal baik itu nanti saat proses menuju sidang paripurnan DPR maupun ketika nanti sudah sah lalu ditangani oleh Kementerian Agama selaku leading sector.
FGD ini juga menyepakati bahwa sambil menunggu pengesahan dari DPR, masing-masing stakeholders pada forum selanjutnya akan mengajukan rekomendasi yang nantinya akan melengkapi dan merinci maksud dan tujuan dari RUU Pesantren. (M. Zidni Nafi`/dod)
Bagikan: