Jambi (Pendis) - Begitulah yang disampaikan Nurul Huda, Kasubdit PAI pada PTU Direktorat Pendidikan Agama Islam (PAI) pada saat pembukaan kegiatan Penguatan Wawasan Moderasi Beragama di Jambi, Jum`at (28/09). "Program ini akan menjangkau 150 mahasiswa per daerah," lanjut Nurul menjelaskan. Program ini akan diujicobakan di tiga wilayah selama 3 (tiga) bulan terakhir di tahun 2018 ini. Setelah di wilayah Jambi ini direncanakan akan dilaksanakan di wilayah Yogyakarta dan Pontianak dengan jumlah yang sama. Sehingga jumlah sasaran program sebanyak 450 mahasiswa.
Meskipun secara kuantitas tidak signifikan, namun secara kualitas mereka diharapkan akan menjadi agen perubahan dan menjadi juru bicara moderasi beragama di lingkungan perguruan tinggi masing-masing.
Mahasiswa yang hadir pada program penguatan moderasi beragama di provinsi Jambi ini berasal dari tujuh perguruan tinggi non keagamaan Islam yang ada di Propinsi Jambi. Perguruan tinggi tersebut adalah Universitas Jambi, Universitas Batanghari, Universitas Adiwangsa, Politeknik Kesehatan Jambi, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Baiturrahman, STISIP Nurdin Hamzah dan Politeknik Jambi.
Perspektif moderasi dalam beragama penting disampaikan kepada para mahasiswa, terutama mahasiswa baru, agar mereka lebih berhati-hati nanti selama menempuh studinya. Terlebih lagi ketika ada pihak-pihak yang seolah-olah memperkenalkan agama versi baru. "Jika anda mendapatkan sesuatu ajaran agama yang terasa ganjil, diskusikan dan konsultasikan dengan dosen atau tokoh agama yang jelas sanad keilmuannya," ujar Ahmad Rusydi, yang juga Kepala Seksi Pembinaan Keagamaan Mahasiswa Direktorat PAI. "Kita yang minim wawasan agama, lalu jika ada pihak yang menawarkan untuk beragama yang seolah-olah benar, kita bisa saja terjebak dan ketika sudah di dalamnya kita sulit untuk keluar. Ini berbahaya," jelas Rusdi lebih lanjut.
Dalam forum ini, mahasiswa diperkenalkan beberapa konsep dan contoh praktik kebangsaan di tengah masyarakat yang senada dengan nilai-nilai dan spirit Islam Rahmatan Lil `alamin. Dr. Sopian Ramli, dosen PAI pada Universitas Jambi bahkan menyampaikan beberapa ciri khas ajaran dan ajakan yang dicurigai membahayakan. "Saya telah mengidentifikasi lebih dari 5 ciri, yaitu sering merasa benar sendiri, cenderung eksklusif dan menyendiri, sulit diajak berdialog, mengajak menentang pemerintah, berpendapat bahwa Pancasila adalah taghut, tidak mau memberikan hormat pada bendera merah putih saat upacara, menganggap dirinya paling benar, dan lain sebagainya," jelasnya lebih lanjut.
Dr. Andi Hardiyanto, yang juga dosen PAI pada Universitas Negeri Jakarta berpesan, agar mahasiswa juga dewasa dan kritis dalam menerima sebuah ajaran. Terlebih ketika di tahun politik saat ini, karena lalu lintas informasi terutama melalui media sosial yang sering tampak terlihat benar, padahal mengandung kekerasan dan tidak sesuai dengan prinsip Islam rahmatan lil`alamin.
Para mahasiswa juga mendapatkan pesan untuk menjadi agen beragama yang toleran dan inklusif. Peneguhan pemahaman keberagamaan yang toleran dan inklusif ini diharapkan akan makin meneguhkan pentingnya negara kesatuan republik Indonesia. (n15/dod)
Bagikan: