Surakarta (Pendis) - Beberapa pekan yang lalu, CisFORM UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta mendiseminasikan hasil penelitian kemitraan yang hasilnya adalah mengkritisi sistem Produksi Guru Pendidikan Agama Islam (PAI). Penelitian ini merupakan penelitian kemitraan tiga institusi, yakni UIN Sunan Kalijaga, UIN Syarif Hidayatullah dan Convey Indonesia. Dalam publikasi hasil penelitian tersebut memang ditemukan sejumlah masalah dalam proses produksi guru mulai dari input mahasiswa, dosen, orientasi dan proses pembelajarannya.
Sebagai tindak lanjut tersebut, CisFORM UIN Yogyakarta berkepentingan untuk menghadirkan stakeholder PAI yang terdiri dari Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI), Direktorat PAI, LPTK Penyelenggara Prodi PAI, Asosiasi GPAI, LSM Pemerhati Pendidikan Islam, dan Kemenag Kabupaten/Kota dalam kegiatan Workshop Pengembangan Pendidikan Agama Islam, Kamis-Sabtu, 31 Jan sampai dengan 2 Februari 2019 di Surakarta, Jawa Tengah.
Kementerian Agama juga merasa berkepentingan terhadap workshop ini. Tiga perwakilan Kementrian Agama, yaitu Mamat S Burhanuddin (Kasubdit Bina Akademik PTKI), Ahmad Syafi`i (Kasubdit Ketenagaan Dit. PTKI) dan Anis Masykhur (Kasi Bina Akademik PAI pada PTU Dit. PAI) menghadiri dan menunggui selama kegiatan ini diselenggarakan.
Merujuk pada fakta-fakta lapangan yang menunjukkan makin "mewabah"-nya paham keagamaan intoleran ataupun tidak moderat, dalam diskusi tersebut forum diingatkan kembali tujuan awal prodi PAI diselenggarakan. Ahmad Syafi`i menyampaikan bahwa tujuan PAI itu sebenarnya dipersiapkan untuk menjadi guru agama di sekolah, tidak untuk guru lainnya.
"Kurikulum PAI seyogyanya lebih fokus terhadap siswa mengingat jumlah layanan guru PAI secara statistik mencapai 37 juta (78%) lebih," ujarnya dengan tegas. Memang kurikulum PAI pada LPTK masih mengalami disorientasi, karena saat ini dipersiapkan pula untuk menjadi guru agama di madrasah. Tidak mengherankan jika ditemukan dalam kurikulum prodi PAI ada mata kuliah seperti pembelajaran sejarah, pembelajaran fiqh, pembelajaran aqidah dan pembelajaran Al-Qur`an dan Hadits dan sejenisnya.
Hal demikian juga didukung oleh Keputusan Dirjen Pendidikan Islam tentang Standar Kompetensi Lulusan dan Capaian Pembelajaran pada Program Studi pada PTKI. Dalam salah satu penjelasan peraturan tersebut bahwa PAI dapat menyelenggarakan proses pembelajaran yang dapat meningkatkan kesiapan mahasiswa untuk menjadi guru pada madrasah.
Peraturan tersebut selanjutnya direspon dan diterjemahkan oleh jurusan PAI pada Fakultas Tarbiyah dengan berbagai versi dan model; ada yang menerjemahkan dengan membuka konsentrasi pendidikan Fiqh, Aqidah, Sejarah, serta Al-Qur`an dan Hadits. Ada juga yang menambah mata kuliah seperti pembelajaram fiqh, aqidah, sejarah serta pembelajaran Al-Qur`an dan Hadits.
Dengan fakta-fakta hasil penelitian dan kenyataan yang terjadi pada siswa saat inu, Anis Masykhur sebagai perwakilan institusi yang menggunakan produksi PTKI menyarankan bahwa Prodi PAI harus kembali ke "khittah"-nya yaknj akan menjadi guru PAI pada sekolah. Dengan demikian, LPTK dapat berkonsentrasi untuk menjadikan mahasiswa sebagai calon pendidik yang memiliki kreatifitas dan inovasi. Kreatifitas tersebut kemudian dipergunakan baik untuk meningkatkan kompetensi keilmuan dirinya maupun ketika menyampaikannya kepada para siswa. Sehingga target bahwa siswa memiliki daya kritis terhadap segala sesuatu bisa tercapai. "Dengan daya kritis tersebut, siswa akan imun terhadap informasi radikalisme seperti saat ini," jelas Anis memaparkan.
Untuk mensupport saran Anis tersebut, ia juga menyampaikan beberapa "bocoran" program 2019 Direktorat PAI yang disampaikan Rohmat Mulyana Direktur PAI pada saat Rapat Pimpinan, 20-22 Januari 2019 kemarin. Program tersebut adalah Bantuan Lab School PAI, yakni program kemitraan dengan program studi PAI untuk mendesain model pembelajaran PAI Multikultural, PAI Inklusif atau PAI integratif. Salah satu syarat utama pengusul program adalah LPTK memiliki mitra atau laboratorium berupa sekolah (bukan madrasah) baik pada jenjang pendidikan dasar maupun menengah.
"Kami berharap guru PAI yang akan mengajar di sekolah memiliki kompetensi keagamaan yang memadai; memilik wawasan Islam moderat; memiliki sikap tidak anti NKRI, tidak anti toleran dan tidak mudah mengkafirkan (takfiri); serta kreatif dan inovatif," harapnya mengakhiri usulannya. Ciri-ciri tersebut bisa didapat jika proses belajarnya selama menjadi mahasiswa benar. Wallahu a`lam bish shawab. (n15/dod)
Bagikan: