Oxford (Pendis) - Pembelajaran merupakan upaya wajib setiap insan mulai lahir hingga ke liang lahat. Cara belajar yang baik seringkali menjadi problem para praktisi dunia pendidikan dalam usaha mentransfer ilmu pengetahuan. Konten memang perlu, namun konteks juga menjadi penting sehingga maksud dan tujuan lebih mudah tersampaikan. Dalam rangka meningkatkan metodologi pembelajaran Pendidikan Agama Islam, Direktorat Pendidikan Agama Islam Ditjen Pendidikan Islam mengirimkan 30 orang guru PAI ke Universitas Oxford untuk lebih meningkatkan mutu dan keterampilan para pahlawan tanpa tanda jasa tersebut untuk belajar "pasar pengetahuan".
Inti dari belajar adalah agar seseorang mendapatkan pengetahuan. Dari bermacam pengetahuan yang ia tekuni dengan benar akan didapatkan sebuah ilmu. Tugas seorang guru di kelas adalah mendorong para peserta didik untuk memperoleh pengetahuan sebanyak mungkin. Untuk melakukannya, biasanya akan diterapkan beragam metode yang dipandang efektif. Bagi Guru Pendidikan Agama Islam (GPAI), tugas ini tidak bisa dianggap enteng. Karena selain mencari cara agar siswa terpacu menyukai pengetahuan, ia juga harus aktif mengamati ranah afektif dan psikomotorik para siswa sendiri di dalam kelasnya. Hal ini tak dipungkiri karena sesungguhnya sasaran utama dalam PAI adalah pembentukan karakter. Siswa yang gemar belajar, haus akan ilmu plus memiliki karakter budi pekerti yang luhur, trampil, jujur, sportif, peduli dan mau bekerja sama antar teman itulah cerminan generasi harapan bangsa.
Seperti diketahui, Direktorat PAI pada bulan Desember 2014 lalu telah mengirimkan 30 GPAI pilihan untuk mengikuti Pelatihan Metodologi Belajar di Oxford University. Kegiatan yang dilepas oleh Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI, Prof. Dr. Phil. Kamarudin Amin ini salah satunya bertujuan untuk menimba ilmu metodologi pembelajaran baru dari Oxford University yang bisa diterapkan di tanah air khususnya untuk mata pelajaran PAI. Harapannya, PAI yang selama ini masih dianggap sekedar mata pelajaran pelengkap bahkan cenderung "kurang" bergengsi dibanding mata pelajaran lain menjadi sebuah menu andalan yang disukai para peserta didik di sekolah. Kamarudin Amin sendiri saat itu menegaskan, "kita belajar metodologinya, bukan materi pendidikan agamanya. Sangat menarik bagaimana siswa-siswa di Oxford semuanya bisa semangat bertanya dan menikmati pembelajaran di kelas", jelasnya yang kebetulan di tahun sebelumnya juga sempat melakukan survei di universitas tertua di Inggris itu.
Sementara itu, Dr. Amin Haedari, selaku Direktur PAI dalam sebuah kesempatan memberi alasan mengenai pentingnya metodologi pembelajaran di era globalisasi ini, "dunia pendidikan semakin mengalami perkembangan. Model pengajaran yang menonjolkan peran guru atau teacher centered learning sudah mulai jauh ditinggalkan dan digantikan dengan pembelajaran yang mengutamakan peserta didik. Hal ini berdampak pada berkembangnya model-model pembelajaran yang lebih menampilkan keaktifan peserta didik." Ia mencontohkan metode yang dikembangkan di sekolah-sekolah binaan Oxford University di Inggris yakni Market Place Activity (MPA) sangat layak diterapkan oleh para GPAI agar peserta didik lebih aktif, termotivasi dan bergairah dalam menciptakan pengalaman belajarnya sendiri.
Kini, para alumni yang tergabung dalam Tim Oxford telah mencoba merealisasikan oleh-oleh dan pengalamannya selama berguru selama dua minggu di negeri Ratu Elizabeth itu. Beberapa GPAI menyampaikan testimoni pengalamannya setelah uji coba di kelas. "MPA membantu membangkitkan motivasi peserta didik untuk berkreasi dalam aktivitas pembelajaran", Ujar Achmad Hasyim salah seorang GPAI dari Jawa Barat, yang merupakan alumni Oxford di depan para GPAI lainnya pada kegiatan workshop PAI awal April 2015 kemarin. Bersama 3 rekannya yang tergabung dalam Tim Oxford PAI SD yakni Dyah Salsabil, Akhmad Faozan dan Mudzakkir mereka mencoba membagi pengalamannya mengenai metode pembelajaran Market Place Activity (MPA).
MPA adalah sebuah metode yang berbasis active learning. Pembelajaran aktif. Cirinya siswa aktif mencari dan mengumpulkan pengetahuan dari satu kelompok ke kelompok lain. Istilahnya saling belanja atau `jual beli` pengetahuan. Dalam hal ini dibutuhkan pula kerjasama antar siswa, karenanya MPA juga layak disebut cooperative learning. "Peran guru hanya sebagai fasilitator yang mengarahkan dan memantau jalannya pembelajaran", jelas Mudzakkir, alumni Oxford asal Surabaya. Akhmad Faozan, alumni dari Yogyakarta lebih lanjut menambahkan tentang tujuan dari MPA yakni meningkatkan semangat siswa dalam belajar, memperbaiki interaksi antara guru dan siswa juga antar siswa, melatih berpikir kritis dan melatih pula para siswa untuk saling bertanya dan menjawab permasalahan.
Penasaran bagaimana prakteknya?. Dyah Salsabil, satu-satunya alumni perempuan dari GPAI SD menguraikan garis besarnya. Ketika di kelas, guru yang sudah menyiapkan sebuah topik pelajaran membagi siswa dalam 5-7 kelompok yang berisi 6 siswa. Tiap-tiap kelompok diberi sub topik untuk didiskusikan lalu mereka meringkas hasilnya dalam 5 kata kunci dengan memberi simbol atau gambar. Tiap-tiap kelompok menugaskan 4 siswa untuk belajar ke kelompok lain dengan cara bertanya sedangkan 2 siswa tetap diam di tempat sebagai tuan rumah yang bertugas menjawab dan menjelaskan pertanyaan. Jadi tiap kelompok bergantian berkunjung ke kelompok lain secara berurutan. Disini ada 2 aktivitas penting yang perlu diperhatikan, siswa bertanya sebanyak-banyaknya kepada teman atau "membeli pengetahuan" dan siswa tuan rumah bertindak sebagai pemasar pengetahuan. Ia bertugas menjelaskan sebisa mungkin atau "menjual pengetahuan" dengan cara menjawab pertanyaan rekannya dari kelompok lain.
Bisa dibayangkan bagaimana riuhnya kelas dalam menjalankan pasar pengetahuan. Riuh karena keaktifan siswanya dalam belajar bukan riuh karena senda gurau tak bermanfaat. Sebagai metode alternatif, MPA perlu disosialisasikan lebih luas ke khalayak GPAI lain di seluruh nusantara dan tentunya menjadi perhatian bersama. (Wik/Sya/ra)
Bagikan: