Bogor (Pendis)- Sekretaris Jenderal Kementrian Agama RI, M Nurcholis Setiawan menyampaikan beberapa indikator sikap moderasi dalam beragama. Hal itu disampaikan di hadapan para dosen PAI pada Perguruan Tinggi Umum baik negeri maupun swasta pada forum Workshop Publikasi Jurnal Terakreditasi di Bogor, pada 20 hingga 22 November 2019.
Sekjen menguraikan secara detail empat hal yang dijadikan tolok ukur sikap seorang moderat. "Empat hal ini penting untuk diketahui bersama agar menjadi acuan dalam setiap langkah gerak kita," katanya menjelaskan.
Menurutnya, ia lebih suka menyampaikan ciri-ciri daripada memperjelas definisi moderasi. "Makin dijelaskan, khawatir makin tidak jelas,"katanya menegaskan.
Pertama, memiliki sikap terbuka, termasuk terhadap masukan baru. Nurcholis mencontohkannya dengan sikap Imam Malik yang menulis kitab Al-Muwaththa` yang menurut riwayat ditulis selama empatpuluh tahun. Lamanya rentang penyusunan tersebut, karena Imam Malik berkehendak mendapatkan feedback dari pada ulama. Setiap masukan selanjutnya diperbaiki, hingga para ulama kemudian menyatakan bersepakat bahwa karya Imam Malik tersebut sudah dinilai baik. "Karena karya tersebut disepakati, maka dinamai al-muwaththa`," ucapnya.
Kedua, selalu berpikir rasional. Segala perilaku ibadah atau kebaikan harus dapat ditinjau akal. Jika bertentangan dengan akal, maka sebuah sikap atau perbuatan tersebut patut dipertanyakan. Untuk diketahui, hal-hal yang tidak bisa dirasionalkan hanya urusan-urusan ajaran agama yang dalam bahasa agama disebut `ta`abbudi`. Seperti pelaksanaan wudhu, mengapa seseorang mengeluarkan angin (kentut), yang dibasuh kok mukanya. Yang seperti ini adalah ta`aabudi, tidak perlu dipaksakan untuk sesuai dengan akal. Begitu halnya dalam membersihkan najis mughaladzah harus tujuh kali dan salah satunya dicampur dengan tanah. Mengapa shalat gerakannya dimulai dari akbir diakhiri dengan salam dengan gerakan-gerakan seperti itu. Itu disebut ta`abbudi.
Ketiga, tawadhu`, rendah hati. Seorang yang moderat harus mampu menunjukkan dirinya sebagai makhluk yang merasa kurang pengetahuannya, sehingga ingin tetap belajar. Dia harus rendah hati ketika berbicara dengan orang lain. Dia tidak boleh selalu merasa paling benar termasuk dalam hal pemahaman keagamaan.
Keempat, selalu berpikir bahwa apa yang dilakukannya harus membawa manfaat. Perspektif ini penting untuk dijadikan pegangan bagi masyarakat terdidik. Yang dimaksud dengan manfaat bukanlah pertimbangan untung dan rugi secara material. Namun lebih kepada manfaat kualitatif,
Ciri moderasi ini disampaikan Nurcholis dalam rangka membekali para dosen PAI dalam menuangkan gagasan riset atau karya ilmiahnya bermuatan spirit moderasi.
Dosen PAI memegang peran signifikan dalam mendiseminasikan nilai-nilai moderasi di atas di kampusnya masing-masing. Mereka menjadi andalan dan sumber rujukan untuk informasi keilmuan keagamaan. (N15/Hik)
Bagikan: