Jakarta (Kemenag) --- Kementerian Agama tengah mengkaji potensi penambahan kuota dan jurusan dalam skema beasiswa ke Timur Tengah, khususnya Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Upaya ini merupakan bagian dari penguatan kemandirian bangsa dalam mengelola program pendidikan luar negeri yang berkualitas, terstruktur, dan berpihak pada mutu.
Hal ini ditegaskan Direktur Jenderal Pendidikan Islam, Amien Suyitno, dalam rapat koordinasi persiapan seleksi calon mahasiswa Timur Tengah yang digelar di Jakarta, Rabu (23/4/2025). Ia menekankan pentingnya semangat al-qiyamu bin-nafsi—berdiri di atas kaki sendiri—dalam mengelola program strategis, termasuk seleksi dan pengiriman mahasiswa ke luar negeri.
“Sudah saatnya kita mandiri. Kita perlu sistem seleksi yang kredibel, adil, dan profesional. Kaji ulang kuota dan jurusan beasiswa bukan hanya soal angka, tapi arah baru pendidikan Islam yang visioner,” ujar Prof. Amien.
Dalam rapat tersebut, Kemenag juga mendorong sinergi antarunit kerja dan mitra strategis, termasuk lembaga bahasa di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN). Lembaga-lembaga ini akan menjadi garda depan proses seleksi, sekaligus laboratorium pembinaan calon mahasiswa.
“Kita punya potensi besar. Lembaga bahasa PTKIN bisa jadi pusat pelatihan kelas dunia. Ini peluang Indonesia membangun ekosistem pendidikan Islam global dari internal kita sendiri,” tegasnya.
Selain aspek akademik dan kompetensi bahasa, Kemenag juga menaruh perhatian serius pada aspek pembiayaan. Sistem yang sedang disiapkan akan berbasis pilihan, bukan kewajiban, sehingga tidak membebani masyarakat.
“Program ini bukan layanan wajib, tapi solusi profesional bagi mereka yang ingin kuliah ke Al-Azhar. Transparansi dan komunikasi publik harus dijaga agar tidak terjadi kesalahpahaman,” imbuh Prof. Amien.
Lebih jauh, Kemenag juga mengajak kampus-kampus keagamaan negeri (PTKIN) untuk ambil peran lebih aktif sebagai pusat fasilitasi dan pembinaan calon mahasiswa luar negeri.
“Kampus PTKIN harus menjadi motor transformasi. Jangan hanya bicara akreditasi, tapi mulai berkontribusi pada lahirnya SDM unggul berdaya saing global,” tuturnya.
Inspirasi juga datang dari ekosistem kemandirian pesantren seperti Pondok Modern Gontor. Prof. Amien menilai model ekonomi pesantren dapat diadopsi untuk menopang kemandirian pendidikan tinggi Islam.
“Ekonomi pesantren itu nyata. Kita bisa ciptakan perputaran dari dalam—mulai dari seragam, makanan, hingga kebutuhan santri—untuk mendukung kemandirian lembaga,” tambahnya.
Penataan jalur rekomendasi dan administrasi seleksi juga menjadi sorotan. Banyak mahasiswa berangkat ke luar negeri tanpa prosedur resmi, yang menyulitkan proses verifikasi dan pendataan. Ke depan, sistem ini akan diperkuat agar lebih tertib dan akuntabel.
Sebagai penutup, Prof. Amien menyampaikan harapan besarnya untuk masa depan pendidikan Islam Indonesia.
“Kita ingin anak-anak kita tampil di panggung dunia bukan sebagai penonton, tapi sebagai pelaku utama. Semua harus disiapkan dari sekarang—dengan kolaborasi, optimisme, dan komitmen bersama,” pungkasnya.
Bagikan: