Dinamika Media Sosial dalam Politik Asia Tenggara: Antara Demokratisasi dan Manipulasi Algoritmis Jadi Bahasan Seminar Internasional UIN Bandung
Bandung (Pendis) -– Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Sunan Gunung Djati (SGD) Bandung menyelenggarakan Seminar Internasional bertajuk “Social Media and Politics in Southeast Asia” di Aula FISIP UIN SGD, Lt. 1, Kamis, (13/2/2025) pukul 08.30 – 12.00 WIB.
Diselenggarakan oleh Centre for Asian Social Science Research (CASR), seminar ini menghadirkan dua akademisi terkemuka sebagai pembicara utama, yaitu Ahmad Ali Nurdin, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN SGD serta profesor dalam bidang politik Islam, dan Merlyna Lim, penulis buku Social Media and Politics in Southeast Asia (Cambridge University Press, 2024) sekaligus pakar media dan politik di Asia Tenggara.
Seminar ini dimoderatori oleh Asep Iqbal, akademisi sosiologi yang memiliki kepakaran dalam kajian media dan politik sekaligus Direktur CASSR.
Dalam paparannya Ahmad Ali Nurdin melakukan tinjauan kritis terhadap buku Merlyna Lim, dengan menyoroti bagaimana media sosial telah menjadi elemen kunci dalam lanskap politik Asia Tenggara. Ia mengakui bahwa buku ini memberikan analisis kuat mengenai peran media sosial dalam membentuk opini publik, menggerakkan aktivisme politik, serta memperkuat atau menantang otoritarianisme. Namun, ia juga menambahkan perspektifnya bahwa "pengaruh media sosial bersifat paradoksal—di satu sisi, teknologi digital telah memberdayakan masyarakat sipil dalam melawan rezim otoriter, tetapi di sisi lain juga menjadi alat efektif bagi elit politik untuk mengontrol wacana publik dan mengkonsolidasikan kekuasaan," tegasnya.
Nurdin menggarisbawahi bagaimana kapitalisme platform telah menciptakan model komunikasi politik yang lebih berorientasi pada ekonomi perhatian daripada keterlibatan demokratis yang substansial. Dengan algoritma yang lebih mendukung konten provokatif dan emosional, media sosial di Asia Tenggara lebih mencerminkan budaya pemasaran algoritmik (algorithmic marketing culture) ketimbang ruang deliberatif yang sehat.
Ia menyoroti bagaimana disinformasi dan propaganda digital semakin terorganisir, baik oleh pemerintah maupun aktor non-negara, yang semakin memperdalam polarisasi politik dan mempersempit ruang kebebasan berekspresi. "Oleh karena itu, saya mengajak akademisi dan pembuat kebijakan untuk melihat media sosial bukan hanya sebagai alat komunikasi politik, tetapi juga sebagai medan pertempuran ideologi dan kepentingan ekonomi yang harus dikritisi lebih mendalam," pesannya.
Dalam sesi berikutnya, Merlyna Lim membahas bagaimana media sosial telah menjadi arena utama dalam politik Asia Tenggara. Dengan meningkatnya jumlah pengguna internet, platform digital menjadi alat penting dalam membentuk opini publik, kampanye politik, dan gerakan sosial. Namun, pengaruhnya tidak selalu positif karena juga dapat memperdalam polarisasi dan menyebarkan disinformasi. "Konsep disinformation order dan post-truth politics menjadi tantangan besar dalam menjaga demokrasi di kawasan ini. Algoritma media sosial sering kali memperkuat informasi yang mendukung bias pengguna, menciptakan "filter bubbles" dan "echo chambers" yang mengisolasi pengguna dalam perspektif mereka sendiri," jelasnya.
Lim menyoroti bagaimana algoritma berperan penting dalam menentukan visibilitas dan jangkauan informasi politik. Konsep algorithmic enclaves menunjukkan bahwa individu berinteraksi dalam ruang digital yang memperkuat keyakinan mereka dan membentuk komunitas berdasarkan identitas bersama. "Fenomena ini sering dimanfaatkan oleh aktor politik untuk mendominasi ruang publik dan memanipulasi opini. Saya menggarisbawahi bahwa media sosial tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi politik tetapi juga bagian dari kapitalisme platform, di mana ekonomi perhatian (attention economy) lebih diutamakan dibandingkan diskusi demokratis yang substansial," bebernya.
Meskipun media sosial telah menjadi alat bagi aktivis dalam memperjuangkan hak-hak sipil, ia juga digunakan oleh rezim otoriter untuk membatasi kebebasan berekspresi. Gerakan seperti #MilkTeaAlliance dan #Bersih menunjukkan bagaimana aktivisme digital dapat melawan kekuasaan yang represif, tetapi di sisi lain, kampanye politik juga dapat memperkuat narasi otoriter dengan memanfaatkan platform digital. Konsep algorithmic white branding yang diperkenalkan oleh Lim menunjukkan bagaimana AI dan algoritma digunakan untuk menciptakan citra positif bagi tokoh politik dengan rekam jejak kontroversial. "Studi kasus seperti Bongbong Marcos di Filipina dan Prabowo Subianto di Indonesia menunjukkan bagaimana teknologi digunakan untuk "membersihkan" sejarah politik kandidat dan menarik pemilih muda," tuturnya.
Selain dampak politik, media sosial juga sangat emosional. Konsep affective binary framework menggambarkan bagaimana narasi politik sering kali dikotomis—"kita vs mereka"—untuk membangkitkan kemarahan dan solidaritas dalam kelompok tertentu. Fenomena ini sering dimanfaatkan dalam politik populis dan kampanye berbasis identitas. "Oleh karena itu, pengguna media sosial harus memainkan peran sebagai agen intelektual digital yang mampu menavigasi informasi dengan sikap kritis. Hal ini menuntut posisi yang seimbang—tidak terjebak dalam bias algoritmik, tetapi juga tidak sepenuhnya menolak teknologi," paparnya.
Baik Lim maupun Nurdin sepakat bahwa peran media sosial dalam politik di Asia Tenggara tidak dapat dilepaskan dari tantangan akuntabilitas dan transparansi. Pemerintah dan masyarakat harus menyadari bagaimana algoritma bekerja serta bagaimana pengaruhnya terhadap opini publik.
Asep Iqbal menegaskan kesadaran kolektif (communal consciousness) perlu diperkuat untuk melawan dominasi kapitalisme pemasaran digital sehingga masyarakat tidak sepenuhnya dikendalikan oleh algoritma yang hanya mengutamakan keuntungan platform daripada nilai-nilai demokrasi.
"Peningkatan literasi politik dan teknologi menjadi prioritas agar masyarakat dapat lebih cerdas dalam menyaring informasi dan memahami bagaimana media sosial dapat dimanfaatkan sebagai ruang demokratis yang lebih sehat," ujarnya.
Seminar ini memberikan wawasan yang mendalam mengenai interaksi antara media sosial dan politik di Asia Tenggara, serta tantangan yang perlu dihadapi dalam menjaga kebebasan berekspresi dan demokrasi di era digital. "Dengan kesadaran kritis terhadap algoritma dan strategi politik digital, masyarakat dapat menciptakan lingkungan media sosial yang lebih inklusif, tidak mudah dimanipulasi, serta tetap menjadi ruang yang mendukung demokrasi dan kebebasan berpendapat," pungkasnya.
Tags:
uinBagikan: