Penulis: Yandi Hafizallah, M.A’ (Dosen Psikologi Islam IAIN Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung)
PTKI secara proaktif mendefinisikan identitas keislamannya di era Society 5.0 sebagai institusi yang mengintegrasikan ilmu agama dan umum, menjunjung etika Islam dalam berteknologi, menyebarkan moderasi beragama, dan dakwah berbasis digital. Namun, implementasi di lapangan masih menghadapi tantangan yang beragam, membutuhkan komitmen kuat, investasi berkelanjutan, dan perubahan mentalitas agar potensi inklusivitas ini benar-benar terwujud secara optimal.
Artikel sebelumnya, "Transformasi Pendidikan di Era 5.0: Menakar Peran dan Arah Perguruan Tinggi Keagamaan Islam," secara komprehensif menguraikan tantangan dan peluang PTKI dalam menghadapi era Society 5.0. Visi yang disajikan memang ideal, menekankan pentingnya integrasi teknologi, pembentukan karakter, dan relevansi kurikulum. Namun, narasi tersebut cenderung terlalu utopis dan seringkali kurang menyentuh akar masalah struktural serta pragmatisme operasional yang seringkali menghambat laju transformasi di lapangan.
"Human-Centered" Society 5.0: Lebih dari Sekadar Jargon!!!
Konsep Society 5.0 yang berpusat pada manusia adalah sebuah cita-cita mulia, dan benar bahwa PTKI memiliki posisi unik untuk mengarus-utamakan nilai-nilai etika dan moralitas dalam kemajuan teknologi. Namun, seringkali diskusi tentang Society 5.0 di ranah pendidikan, termasuk di PTKI, masih terjebak pada jargon. Implementasi "human-centered" ini bukan hanya tentang mengajarkan etika digital, melainkan bagaimana seluruh ekosistem pendidikan—mulai dari desain kurikulum, metode pengajaran, hingga sistem evaluasI.
Apakah PTKI benar-benar siap dan memiliki kapasitas untuk secara sistematis menerjemahkan nilai-nilai keagamaan menjadi kompetensi aplikatif yang human-centered di era digital? Tanpa pemetaan konkret antara turats dan kebutuhan riil industri 5.0 (bukan sekadar mencantumkan mata kuliah "AI" secara parsial), PTKI menciptakan lulusan yang secara teoritis memahami etika, tetapi secara praktis kurang memiliki keterampilan untuk mengintegrasikannya dalam dunia kerja yang serba cepat dan kompleks. Inilah yang perlu dianalisis lebih dalam, bukan hanya menyatakan pentingnya, melainkan bagaimana mewujudkannya.
Meskipun banyak PTKI telah memiliki LMS (Learning Management System) dan banyak juga yang belum!!, pemanfaatannya masih sebatas repositori materi, bukan sebagai platform interaktif yang mendorong pembelajaran kolaboratif dan adaptif. Tanpa investasi besar dan berkelanjutan dalam infrastruktur yang merata serta program peningkatan kapasitas dosen yang intensif dan relevan dengan kebutuhan spesifik masing-masing PTKI, visi transformasi digital akan tetap menjadi wacana di tingkat kebijakan. Mengkritisi akar masalah ini perlu dibarengi dengan usulan model capacity building yang adaptif, bukan sekadar pelatihan umum yang bersifat one-size-fits-all!!
Pada konteks Akreditasi perlu diketahui bahwa hal ini bukan sekadar Administrasi, Melainkan Cerminan Paradigma!! perlu diingat bahwa akreditasi seringkali adalah cerminan dari paradigma institusional yang masih kaku. Tekanan regulasi memang ada, tetapi PTKI memiliki ruang untuk berinovasi dalam menunjukkan impact dan mutu riil di luar indikator kuantitatif semata. Solusinya bukan hanya dengan tidak "sibuk" akreditasi, melainkan mengubah cara pandang terhadap akreditasi itu sendiri: dari sekadar pemenuhan syarat menjadi alat evaluasi diri dan peningkatan berkelanjutan yang memotret dampak sosial dan inovasi. PTKI perlu proaktif mengusulkan perubahan indikator akreditasi agar lebih mengakomodasi kekhasan dan kontribusi PTKI dalam membentuk insan yang relevan dengan Society 5.0.
Pentingnya kolaborasi dan kepemimpinan visioner adalah poin yang tidak terbantahkan. Namun, dalam realitasnya, kolaborasi seringkali terjebak pada MoU di atas kertas tanpa implementasi yang konkret. Kepemimpinan visioner pun membutuhkan dukungan struktural dan budaya institusi yang kuat untuk dapat merealisasikan visinya.
PTKI perlu bergerak lebih jauh dari sekadar membangun jaringan. Yang dibutuhkan adalah pembentukan ekosistem perubahan yang melibatkan seluruh sivitas akademika, alumni, industri, dan masyarakat. Ini berarti: Membangun budaya intrapreneurship di kalangan dosen dan mahasiswa agar berani mencoba hal baru dan berinovasi. Membuka pintu lebih lebar bagi praktisi dari industri dan masyarakat untuk terlibat dalam pembelajaran dan pengembangan kurikulum. Mengembangkan model kepemimpinan partisipatif yang memberdayakan seluruh elemen kampus, bukan hanya dari atas ke bawah. Transformasi sejati tidak hanya terjadi di level kebijakan, melainkan di ruang-ruang kelas, laboratorium, dan interaksi sehari-hari antar sivitas akademika.
Namun, untuk benar-benar mewujudkan visi tersebut, diperlukan analisis yang lebih dalam terhadap hambatan-hambatan pragmatis, kesenjangan implementasi, dan kompleksitas isu identitas keislaman. Transformasi pendidikan di PTKI bukanlah sekadar adaptasi teknologi, melainkan sebuah rekonstruksi menyeluruh yang menuntut keberanian untuk menghadapi realitas, merefleksikan diri secara kritis, dan secara konsisten menerjemahkan nilai-nilai ideal menjadi tindakan nyata. Hanya dengan pendekatan yang lebih realistis dan terstruktur, PTKI dapat benar-benar menjadi agen perubahan yang relevan dan memberikan dampak signifikan di era yang terus bergerak maju ini.(*)
Penulis: Yandi Hafizallah, M.A’ (Dosen Psikologi Islam IAIN Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung)
Tags:
KampusBagikan: