Banda Aceh (Pendis)--Perempuan itu mengatur langkah tergesa. Ia menyalami kami. Menyambut dengan senyum. Lantas mempersilahkan masuk madrasah.
Seketika, saya terperangah. Dalam benak mendadak muncul pertanyaan, “kenapa remaja itu pegang botol minuman? kenapa pula, ia pakai seragam sekolah?”
Belakangan, kami rombongan Humas Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama dapat jawaban dari Kepala Madrasah Ibtidayah Negeri (MIN) 9 Banda Aceh, Umiyani, ternyata gadis berusia 24 tahun itu, Anak Berkebutuhan Khusus (ABK).
“Kita hargai semangatnya untuk belajar meskipun dengan segala kekurangan dan keterbatasan yang dimiliki,” kata Umiyani pekan awal Oktober.
Jumat pagi. Anak-anak tertib membaca surah Yasin, usai Salat Dhuha berjamaah. Tiba-tiba, “brak,” suara pintu terbanting keras. Kami kaget. Ternyata seorang anak lelaki yang melakukannya, sembari berteriak tantrum “tidak boleh masuk ke sini.”
Tak lama pintu kembali dibuka, dua guru yang dengan sabar mendampingi dan berusaha menenangkan si anak lelaki itu. Ia sudah tenang kembali, lalu ikut menyalami kami.
Setelah itu, anak lainnya datang dengan tangisan meminta digendong salah seorang videografer kami, ia mengaku tertatik memainkan kamera.
“Maaf ya mbak, jika penyambutannya begini, tapi memang seperti inilah kondisi sehari-harinya di madrasah ini,” ungkap Umiyati.
Menurutnya, semua anak memiliki hak untuk memperoleh pendidikan yang sama. Kendati tidak semua perlakuan sama antara anak biasa dengan anak berkebutuhan khusus, karena kondisi khusus tersebut berbeda-beda, sehingga diperlukan kesabaran tinggi untuk treatmen masing-masing anak sesuai kebutuhannya.
“Meskipun belum memiliki tenaga pengajar yang khusus untuk ABK, kami tetap berusaha memberikan yang terbaik untuk semua anak didik, terutama ABK. Kami berkeyakinan mendidik dengan hati merupakan yang hal yang paling dibutuhkan,” tambah Umiyati.
Sementara semua anak belajar dengan tenang, menyimak ibu guru yang mengajarkan akhlak memperlakukan teman meskipun dia berbeda di dalam kelas, pelajaran membiasakan bersikap moderat sejak usia dini.
Di luar kelas, seorang guru membujuk tiga muridnya yang agar masuk untuk belajar. Di MIN 9 Banda Aceh, setiap kelas didampingi guru mata pelajaran dan guru pendamping.
Guru pendamping bertugas memantau anak di kelas dan ikut anak yang tiba-tiba ingin keluar kelas.
Seorang wali siswa ABK, Yusmiati dengan mata berkaca-kaca menceritakan bagaimana perjuangan putri bungsunya selama menjadi salah satu siswa di MIN 9 Banda Aceh.
“Awal masuk ke sini anak saya dalam kondisi tidak bisa berjalan karena sendinya lemas lunglai. Saat itu, kami pasrah tapi mencoba untuk ikhtiar memberikan kesempatan pendidikan untuk putri kami,” ungkap Yusmiati.
Hari-hari dijalani sang putri dengan sulit, harus belajar di kelas dan juga menjalani latihan berjalan (terapi) yang diberikan bapak ibu guru.
“Jadi anak kami setiap harinya diajarkan berjalan, naik turun tangga, sehingga lama kelamaan ia bisa berjalan sendiri, tentu saja kami sekeluarga sangat bahagia dan bersyukur, juga berterima kasih kepada sekolah,” sebutnya.
“Saat ini, putri bungsu kami duduk di kelas lima, sudah bisa berjalan normal, bisa berkomunikasi dan belajar dengan baik.”
Tags:
madrasahBagikan: