Jakarta (Kemenag) — Kementerian Agama menegaskan komitmennya untuk mentransformasi arah pendidikan Islam nasional melalui penerapan kurikulum cinta, paradigma baru yang menekankan spiritualitas, kasih sayang, dan harmoni dengan alam semesta. Gagasan ini menjadi sorotan utama dalam Rapat Koordinasi Nasional Pendidikan Islam yang digelar Jumat (9/5/2024), di Jakarta.
Dalam arahannya, Menteri Agama Nasaruddin Umar menyampaikan pentingnya membangun body of knowledge baru berbasis “teologi cinta” dan ekoteologi. Ia mengkritik dominasi teologi maskulin yang dinilai terlalu rasional, kaku, dan cenderung eksploitatif terhadap alam. Sebagai gantinya, ia menawarkan pendekatan spiritual yang lebih feminin, empatik, dan menyentuh sisi batiniah manusia.
“Sudah saatnya kita meninggalkan paradigma keagamaan yang dilandasi rasa takut dan berpindah ke paradigma cinta. Shalat, misalnya, bukan karena takut neraka, tapi karena cinta kepada Tuhan. Ini akan melahirkan kesadaran beragama yang lebih sehat dan dewasa,” ungkap Menteri Agama dalam pidatonya.
Konsep kurikulum cinta menjadi titik tekan utama dalam arah kebijakan Kemenag ke depan. Pendidikan Islam tidak hanya diposisikan sebagai pewarisan hukum dan doktrin, tetapi juga sebagai proses internalisasi nilai-nilai kasih sayang, keindahan spiritual, dan kedalaman makna hidup. Kurikulum ini menekankan kesadaran baru (new consciousness) dalam beragama—lebih humanis, inklusif, dan berakar pada pengalaman transendental.
Dalam kerangka teologi cinta, Nasar juga menggarisbawahi pentingnya ekoteologi—yakni pendekatan teologis yang menjunjung kesakralan alam. Hal ini akan diwujudkan secara konkret melalui pembangunan eco-campus, kampus ramah lingkungan yang dirancang menyatu dengan elemen alam seperti cahaya alami, pepohonan, air mengalir, dan langit terbuka.
“Arsitektur kampus bukan sekadar fisik, tapi bagian dari pembentukan karakter spiritual peserta didik. Kampus harus menjadi ruang sakral yang menghidupkan kembali koneksi manusia dengan Tuhan melalui alam,” jelasnya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Pendidikan Islam, Amien Suyitno, dalam paparannya menegaskan bahwa arah riset pendidikan Islam ke depan harus berdampak nyata. Riset bukan sekadar akademis, tetapi harus menghasilkan solusi konkret, termasuk policy brief untuk penguatan layanan keagamaan di masyarakat.
Tak kalah penting, Kemenag juga menyiapkan program perlindungan dan redistribusi guru, terutama bagi guru non-ASN dan honorer. Fokus redistribusi diarahkan ke madrasah-madrasah baru, terutama yang berada di kawasan pesantren strategis.
“Pendidikan Islam tidak bisa dilepaskan dari guru-gurunya. Jika ingin transformasi yang berkelanjutan, perlindungan dan pemerataan guru adalah fondasi utama,” tegas Amien.
Bagikan: