Jakarta (Kemenag) — Kementerian Agama Republik Indonesia, bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah serta Institut Leimena, menggelar Temu Wicara Nasional bertajuk Insersi Kurikulum Cinta, 7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat, dan Pembelajaran Mendalam dengan Pendekatan Literasi Keagamaan Lintas Budaya. Kegiatan ini berlangsung pada Rabu (14/5/2025), sebagai bagian dari upaya penguatan karakter dalam sistem pendidikan nasional.
Forum ini menjadi ruang strategis untuk merumuskan kembali arah pendidikan karakter berbasis spiritualitas dan nilai-nilai kasih sayang. Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) yang diinisiasi oleh Menteri Agama menjadi respons konkret terhadap tantangan zaman yang kian kompleks, menuntut pendekatan pendidikan yang tidak hanya menajamkan akal, tetapi juga menyentuh hati.
Dalam sambutannya, Farid Saenong, Koordinator Staf Khusus Menteri Agama RI, menyoroti akar tradisi pendidikan Islam yang sejak awal menekankan makna dan refleksi. Ia mencontohkan model pembelajaran kitab kuning dalam pendidikan kader ulama sebagai metode yang mendalam dalam menanamkan nilai cinta dan kesalehan kontekstual.
"Pendidikan bukan hanya soal menghafal, tapi menyelami makna. Cinta dalam pendidikan adalah cara kita menjangkau hati peserta didik," ujar Farid.
Senada, Nyayu Khodijah, Direktur Kurikulum, Sarana, Kelembagaan, dan Kesiswaan (KSKK) Madrasah, menegaskan bahwa KBC bukanlah kurikulum baru, melainkan revitalisasi kurikulum yang ada dengan pendekatan dan ruh cinta.
“Kurikulum ini hadir untuk menanamkan nilai cinta kepada Tuhan, Rasul, sesama, hingga alam sekitar. Ini tentang membangun ekosistem pendidikan yang berjiwa kasih,” ujarnya.
Prof. Nyayu juga mengungkapkan bahwa hingga kini, pengembangan KBC telah melibatkan lebih dari 22.000 guru dari berbagai daerah di Indonesia. Kurikulum ini kini berada pada tahap ketiga penyusunan dan tahap kelima uji publik, serta didasarkan pada sembilan prinsip utama: Keberagamaan, Kebersamaan, Kekeluargaan, Kemandirian, Kesetaraan, Kebermanfaatan, Kejujuran, Keikhlasan, dan Kesinambungan.
“Silakan adopsi dan adaptasi prinsip-prinsip ini dalam kehidupan belajar mengajar. Yang paling penting dari Kurikulum Cinta adalah nafas dan semangatnya,” tambahnya.
Sebagai bagian dari langkah strategis, Direktorat KSKK Madrasah telah menunjuk 12 madrasah—mulai dari jenjang RA, MI, MTs, hingga MA—di sejumlah provinsi sebagai pilot project pelaksanaan Kurikulum Berbasis Cinta. Madrasah-madrasah ini akan menjadi laboratorium awal penerapan KBC sekaligus pusat pembelajaran untuk proses monitoring dan evaluasi implementasi ke depan.
Kementerian Agama meyakini, melalui pendekatan ini, pendidikan di Indonesia akan semakin humanis, inklusif, dan berdampak nyata. Kurikulum ini tidak dirancang untuk menjadi sempurna, melainkan tumbuh dan berkembang secara dinamis sesuai dengan tantangan zaman dan kebutuhan peserta didik.
“Ini adalah kurikulum yang hidup. Kita tidak sedang menciptakan sistem yang final, tapi proses yang terus mencari bentuk terbaiknya,” pungkas Prof. Nyayu.
Sementara itu, M. Amin Abdullah, tokoh pemikir pendidikan Islam, menekankan pentingnya theological hospitality atau keterbukaan teologis dalam sistem pendidikan. Menurutnya, cinta dalam pendidikan bukan sekadar gagasan rasional, melainkan panggilan rasa yang terdalam.
“Cinta bukan sekadar akal atau teks, tapi rasa. Suara hati yang harus dihidupkan dalam setiap proses pembelajaran,” tegasnya.
Ia menegaskan bahwa sistem pendidikan harus mampu mengasah kepekaan nurani, bukan semata kecerdasan kognitif. Guru, menurutnya, tidak cukup hanya mengajarkan cinta, tapi harus menjadi teladan dalam mencintai melalui tindakan nyata.
Bagikan: