Jakarta (Pendis) - Berdiri dan eksistensinya Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren (Ditpdpontren) sesuai dengan PMA Nomor 55 Tahun 2007 adalah menjadikan umat Islam khusunya peserta didiknya menjadi ahli ilmu agama dan menjadi muslim yang memiliki keterampilan/keahlian untuk membangun kehidupan yang Islami di masyarakat. "Fokus utama Ditpdpontren adalah tafaqquh fiddin. Kalau kemudian orientasinya bergeser maka ini sudah ada penyimpangan dan merupakan anomali yang harus dibenahi. Pun demikian dengan keberadaan Sub Direktorat (Subdit) Pendidikan al Qur`an yang kira-kira baru 5 tahun berada dengan 3 Kepala Sub Direktorat yang telah memimpinnya," kata Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Sesditjen Pendis), Moh. Isom Yusqi, di Bogor beberapa waktu yang lalu (Rabu, 17/05/2017).
Dalam forum Rapat Koordinasi Penyelenggaraan MHQ (Musabaqah Hifdzil al Qur`an) Nasional tersebut, Isom yang yang pernah menduduki Eselon IV, Kepala Seksi Pendidikan Diniyah ini mengatakan bahwa dulunya Subdit Pendidikan al Qur`an adalah bagian dari Subdit Pendidikan Diniyah yang kesan didalamnya hanya mengurus TPQ dan TKQ namun dikarenakan ada berbagai adanya tuntutan perkembangan maka bisa berdiri sendiri. "Subdit Pendidikan al Qur`an lebih diarahkan supaya secara tugas dan fungsi (tusi) yaitu merumuskan, menjabarkan dan melaksanakan beberapa kebijkan tentang pendidikan al Qur`an," kata Isom dihadapan para eselon IV Kanwil Propinsi se-Nusantara tersebut.
Kembali membicarakan urgensi dari tafaqquh fiddin yang dijabarkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 55 tahun 2007 lanjut Isom, yang namanya Diniyah dan Pondok Pesantren itu dibedakan. Diniyah dapat dikategorikan menjadi diniyah sebagai suplemen dan diniyah sebagai komplemen. "Diniyah suplemen atau disebut diniyah takmiliyah, sifatnya melengkapi. Murid MI/SD maupun MTs/SMP yang sore harinya tidak ada kegiatan maka ada kegiatan ngaji untuk melengkapi pembelajaran agama di sekolahnya. Jadi penyelenggara pendidikannya berbeda. Sedangkan diniyah komplemen adalah diniyah yang masuk, include, di dalamnya seperti full day school yang penyelenggara pendidikannya satu," kata Sesditjen Pendis.
Sedangkan untuk istilah pondok pesantren yang dahulu pada awal tahun 80-an pesantren dibagi 2 (dua), ashriyyah dan salafiyyah lanjut guru besar IAIN Ternate, kemudian berubah dan berkembang berdasarkan PP tadi yaitu pesantren sebagai wadah dan pesantren sebagai satuan pendidikan.
"Pesantren sebagai wadah, sekarang ini hampir 90% pesantren sebagai wadah. Artinya pesantren mempunyai banyak satuan pendidikan misalnya sekolah formal dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi (MI/SD - PT). Sedangkan pesantren sebagai satuan pendidikan, sekarang ini sudah mulai berkurang. Sistem ini adalah pesantren mengikuti model pesantren yang pada jaman dahulu. Misalnya para alumni pesantren membuat pesantren dengan model dan kurikulumnya juga sama dengan pesantren dia berasal," kata alumni salah satu pesantren salafiyah di Malang-Jawa Timur ini.
Pesantren sebagai sistem ini ulas Isom, dalam dinamikanya kemudian berkembang pesat dan mendirikan berbagai lembaga pendidikan maka pesantren ini kemudian menjadi wadah bukan sistem lagi.
"Pesantren sebagai sistem juga dapat dikategorikan; pesantren dengan berbasis kitab dan pesantren klasikal namun tidak mengikuti model sekolah formal. Pesantren berbasis kitab adalah pesantren yang "kelas"nya berdasarkan tingkatan kitab yang dipelajari. Sedangkan pesantren klasikal, misalnya Pesantren Gontor yang memiliki model pembelajaran sendiri yaitu dengan kurikulum KMI-nya, Kulliyatu al-Mu`allimin al-Islamiyyah," kata Isom Yusqi. (@viva_tnu/dod)
Bagikan: