Lamongan (Pendis) - Gelaran Musabaqah Qira'atil Kutub Tingkat Nasional (MQKN) Tahun 2023 di Pesantren Sunan Drajat, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur pada 10-18 Juli 2023 bakal diwarnai berbagai agenda penting lainnya. Di antaranya adalah Halaqah Ulama Nasional yang diikuti oleh 300 kiai/nyai nasional pada tanggal 11-13 Juli 2023.
Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Waryono Abdul Ghofur mengungkapkan, serangkaian acara MQKN 2023 ini nantinya juga akan digelar Halaqoh Ulama’ Nasional yang diikuti oleh 300 kiai/nyai nasional pada tanggal 11-13 Juli 2023.
Para kiai/nyai tersebut terdiri dari beberapa unsur, meliputi Pengasuh Pondok Pesantren, Rabithah Ma’ahid Islamiyah (tingkat wilayah dan cabang), Forum Komunikasi Pendidikan Muadalah (FKPM), Asosiasi Ma’had Aly (AMALI), Asosiasi Pendidikan Diniyah Formal (ASPENDIF), Forum Komunikasi Pondok Pesantren Salafiyah (FKPPS), hingga Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah (FKDT).
"Halaqoh ini nantinya menjadi ruang pertemuan para ulama-ulama pesantren untuk mendiskusikan problem tantangan peradaban baru, melalui manhaj dan tradisi keislaman sebagaimana yang selama ini dijaga diamalkan oleh para ulama pesantren," terangnya.
Acara yang diinisiasi oleh Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren dan Persatuan Pondok Pesantren Indonesia (Rabithah Ma'ahid al-Islamiyah) PBNU ini dikemas dalam Halaqah Ulama Nasional yang digelar selama tiga hari, 11-13 Juli 2023. Halaqah ulama ini mengambil tema "Menyambut Peradaban Baru, Menguatkan Pesantren dan Revitalisasi Kitab Kuning".
Saat ini Indonesia tengah menghadapi tiga tantangan serius dalam kaitannya dengan kebangsaan dan keumatan. Ketiga tantangan tersebut adalah kelangkaan ulama, modernitas, dan masalah kebangsaan. Untuk itu para ulama bertemu untuk menghasilkan resolusi yang tepat agar persoalan tersebut dapat ditangani.
Ketua RMI PBNU, KH. Hodri Arif mengungkapkan, para ulama tidak hanya mengerti tentang mengaji dan mengasuh pesantren, akan tetapi juga peka dengan problem nasional kekinian.
“Halaqah ini adalah forum ulama-ulama mendiskusikan tantangan peradaban baru dan menghasilkan solusi melalui metode dan tradisi keislaman Indonesia yang inklusif," katanya.
KH. Hodri Arif menambahkan, dinamika Islam di Indonesia sering dikooptasi oleh kepentingan pragmatis yang menggunakan sentimen identitas. Hal itu dapat berimplikasi memecah belah umat yang dapat berpengaruh pada nasionalisme.
"Oleh karenanya halaqah ulama ini akan mendesain peta jalan tatanan peradaban baru yang adil, harmonis, dan menjunjung tinggi kesetaraan dan martabat umat manusia," tukas Hodri.
Dalam pertemuan ini akan muncul banyak isu strategis yang dibahas. Pengurus PBNU, KH. Ulil Abshar Abdalla menyoroti pentingnya konstektualisasi kitab kuning yang ditulis oleh ulama klasik agar tetap relevan pada masa kini.
“Dalam kitab-kitab klasik, kita mengenal istilah kafir dzimmi, saat ini kita perlu bertanya pakah kategori seperti ini masih bisa kita pakai, atau kita pahami ulang secara lebih kontekstual. Pertanyaan lain yang harus dipikirkan ulang adalah: bagaimana kedudukan minoritas (terutama minoritas agama) dalam negara bangsa ditinjau dari sudut fikih siyasah kita?”, tutur Ketua PBNU ini.
Sudah sepantasnya Indonesia sebagai negara mayoritas Islam terbesar di dunia memiliki identitas kuat yang memiliki ciri khas. Tidak bisa dimungkiri, muslim Asia Tenggara di percaturan global sering dianggap muslim kelas dua karena mereka bukan native speaker bahasa Arab.
Bahkan kajian Islam di Barat pun didominasi oleh Islam yang berkembang di kawasan Timur Tengah.
"Jarang sekali ditemui pusat kajian Islam kawasan Melayu di sejumlah perguruan tinggi Timur Tengah, bahkan di Al-Azhar pun belum ada" katanya.
Panitia pengarah acara, Hatim Gazali mengatakan, fokus pertemuan tiga hari ini adalah merumuskan peta jalan tatanan peradaban baru bagi pesantren. Zaman yang terus berubah telah membawa pesantren dan masyarakat ke era disrupsi yang tak terpikirkan sebelumnya.
"Maka perlu perumusan kembali manhaj sekaligus upaya merevitalisasi kitab kuning agar dapat menjawab problematika kekinian. Selain itu, dalam halaqah ini juga akan dibincangkan apa dan bagaimana konsekuensi jika dalam Undang-Undang disebutkan bahwa pesantren menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional" katanya.
Ketika umat Islam berada di tengah gelombang transnasionalisasi yang membawa pengaruh tak menentu, diperlukan penguatan peran pondok pesantren dalam tatanan dunia baru tersebut.
"Di sinilah kita akan membahas berbagai hal terkait dinamika pesantren dan masyarakat di zaman yang berubah," imbuhnya.
Selain 300 ulama dan pengasuh pesantren terkemuka dari berbagai provinsi di Indonesia, forum ini juga diramaikan oleh para pengasuh pesantren, Forum Komunikasi Pendidikan Muadalah (FKPM), Asosiasi Ma'had Aly (Amali), Asosiasi Pendidikan Diniyah Formal (Aspendif), Forum Komunikasi Pendidikan Pesantren Salafiyah (FKPPS), dan Forum Komunikasi Diniyah Takkmiliyah (FKDT).
Di antara tokoh-tokoh yang dijadwalkan hadir, selain para ulama NU terkemuka dari seluruh daerah, juga Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf, Menkopolhukam,Prof. Dr. KH. Mahfudz MD, Ulil Abshar Abdalla, serta Kegiatan ini akan ditutup dengan seremonial dan festival kesenian pesantren.
Bagikan: