Semarang (Pendis) - Kementerian Agama melalui Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren (PD-Pontren) menyelenggarakan pertemuan Majelis Masyayikh Ma`had Aly bersama pimpinan Ma`had Aly, Satuan Pendidikan Diniyah Formal (PDF) dan Satuan Pendidikan Muadalah (SPM). Tujuan kegiatan ini adalah untuk memetakan distingsi akademik tafaqquh fiddin Ma`had Aly sekaligus penguatan kapasitas pesantren dalam rangka membentengi tahrif kutub at-turats yang dilakukan pihak-pihak tak bertanggung jawab.
Saat membuka kegiatan ini di Semarang, Kamis (24/08) malam, Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren, Ahmad Zayadi, menjelaskan Majelis Masyayikh merupakan dewan pakar keilmuan Islam yang kealimannya diakui kalangan pesantren. Pembentukan Majelis Masyayikh ini bertujuan untuk menggali ide-ide dan pemikiran orisinil dari kalangan pesantren, memperkuat distingsi keilmuan sekaligus desain kelembagaan Ma`had Aly yang kelak menjadi bahan pertimbangan dalam menyusun sejumlah regulasi yang dibutuhkan.
"Ma`had Aly hanya dapat diselenggarakan oleh dan berada di dalam pesantren. Oleh karenanya, pesantren sendirilah yang paling berhak menentukan desain keilmuan dan kelembagaan ideal bagi Ma`had Aly melalui Majelis Masyayikh," tandasnya.
Pertemuan Majelis Masyayikh juga membahas isu kemasyarakatan penting lainnya di luar pengembangan keilmuan dan kelembagaan Ma`had Aly, yaitu fenomena tahrif kutub at-turats. Belakangan, tahrif massif dilakukan kalangan Muslim puritan yang kental dengan gerakan purifikasi agama. Salah satunya ialah kitab al-Adzkar, gubahan Imam an-Nawawi, di mana bab "Ziyarah Qabri ar-Rasul" dipalsukan menjadi "Ziyarah Masjid an-Nabawi".
"Tentu ini menjadi keprihatinan bersama. Oleh karenanya, kami (Kemenag) menaruh harapan besar kepada lulusan Ma`had Aly agar tahrif tak terjadi lagi di masa-masa yang akan datang," pungkasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Mantan Duta Besar RI untuk Lebanon, KH. Abdullah Syarwani, mengemukakan bahwa dalam kajian Islam di Timur Tengah, tahrif juga menjadi tema yang sering kali diperbincangkan intelektualis Muslim. Ini berarti, tahrif dianggap sangat berbahaya lantaran mencerabut otentisitas suatu karya ilmiah. Karenanya, lanjut beliau, penggiat keilmuan Islam juga harus mampu melacak kemana afiliasi dan ideologi penerbit-penerbit kitab-kitab kuning sebagai bentuk kehati-hatian.
"Di sinilah Ma`had Aly memainkan peran besar dalam mengawal orisinalitas karya-karya ulama abad pertengahan," tegasnya. (Sofi/dod)
Bagikan: