Depok (Pendis) - Begitulah kesimpulan dari paparan yang disampaikan Hasibullah Al-Satrawi, peneliti AIDA sekaligus penulis buku "La Tay`as: Ibroh dari Kehidupan Teroris dan Korbannya". Buku ini adalah ulasan pengalaman yang diperoleh dari hasil pendampingan Hasib selama bertahun-tahun dari para pelaku terorisme maupun para korban terorisme. Dengan pemaparan cerita dalam buku tersebut, para dosen agama Islam dan penyelenggara pendidikan diharapkan bisa berlaku arif dalam menyikapi permasalahan radikalisme agama.
Forum pertemuan para dosen PAI pada PTU yang didesain melalui kegiatan Pengembangan Program dan Pembelajaran PAI pada PTU Angkatan Kedua ini diselenggarakan oleh Direktorat Pendidikan Agama Islam (PAI) Ditjen Pendidikan Islam. Forum pertemuan ini sengaja menghadirkan Hasibullah sebagai upaya untuk memperteguh kembali komitmen menebarkan semangat Indonesia damai.
Dalam analisis kritis Hasibullah, bahwa kasus kekerasan yang terjadi di Timur Tengah adalah permasalahan koflik politik an sich, dan masyarakat telah memahami kondisi tersebut. Menariknya, di Negara asal sana tidak begitu kuat masyarakat mengeksploitasi doktrin kitab suci untuk mendukung aksinya. Dengan kata lain, sebenarnya agama dan kitab suci masih berada pada tempat-tempat yang semestinya seperti masjid atau tempat suci lainnya. "Hanya saja di luar negara-negara konflik tersebut, aksi politik selalu dikait-kaitkan dengan doktrin-doktrin suci untuk memberikan dukungan dan legitimasi aksi mereka," jelasnya. Maka dari itu, peran organisasi-organisasi masyarakat semacam NU atau Muhammadiyah menjadi penting perannya untuk menguatkan pewujudan Indonesia damai. Sementara itu, di lingkungan perguruan tinggi, mahasiswa perlu dibiasakan berdialog dalam memahami agama.
Forum pertemuan ini diselenggarakan pada tanggal 11 s/d 13 April 2018 di Depok Jawa Barat. Hadir pula Prof. Isom Yusqi, MA, Sekretaris Ditjen Pendidikan Islam memberikan perspektif baru memahami perilaku keberagamaan masyarakat. Bagi Dosen IAIN Ternate tersebut, bahwa sebagai bagian dari pelaksana Negara, maka perlu diusulkan aturan yang dapat mengontrol kualitas keberagamaan seseorang. Misalkan saja menentukan standard kompetensi keberagamaan mahasiswa. Standar tersebut yang akan menjadi landasan target pencapaian kompetensi setelah menempuh studi pada jenjang tertentu.
Menurutnya, dalam melakukan diseminasi moderasi agama, mahasiswa perlu dibiasakan untuk berpikir kritis, berdialog dan membangun argumentasi yang kokoh atas pendapat yang dikatakannya. Dengan kemampuan tersebut, mahasiswa tidak akan mudah terprovokasi dengan isu-isu yang berseliweran termasuk dalam media sosial. [n15/dod]
Bagikan: