Semarang (Pendis)- Dalam rangka merespon temuan hasil penelitian beberapa lembaga riset seperti Balitbang Kemenag, PPIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Alvara Institut, dan lain-lain yang menginformasikan bahwa beberapa perguruan tinggi diindikasikan terpapar radikalisme, Kementerian Agama secara massif mendiseminasikan moderasi beragama di delapan provinsi yang disinyalir rawan opini dan aksi radikalisme.
Direktorat PAI melalui Subdit PAI pada PTU selama dua bulan terakhir membedah secara akademik dan mengharapkan para dosen mendiseminasikannya lebih lanjut di lingkungan PT masing-masing. Bedah moderasi tersebut dilakukan bersama dengan dosen PAI pada PT sejak awal bulan Juli lalu di delapan provinsi. Delapan provinsi tersebut adalah Jawa Barat, DKI Jakarta, Banten, Riau, Manado, Makassar, Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Desain penyampain materi moderasi beragama diintegrasikan dalam diskusi sessi demi sessi. Formulasi sessi tersebut antara lain mengenai pentingnya pemilihan tema penelitian yang markettable, tema penulisan artikel untuk jurnal ilmiah, dan materi moderasi.
Sekretaris Pokja Impelementasi Moderasi Beragama Ditjen Pendidikan Islam , Anis Masykhur, menguraikan cukup tuntas mengenai tiga alat ukur yang sering dijadikan dasar radikalisme beragama.
Pertama, dalam mengkaji hubungan agama dan negara, agar menghindari penggunaan ajaran agama untuk melawan negara atau mengganggu keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). "Harus diyakini, bahwa ketika para ulama menyerahkan urusan kekuasaan kepada presiden dengan memberikan gelar waliyyul amri al-dharuri bisy-syaukah, maka Indonesia ini adalah negara Islam meski dalam konstitusinya tidak pernah dituliskan," jelas Anis di Semarang, Sabtu (24/08).
"Ketika ada sekelompok orang mengganggu NKRI, maka yang demikian itu dalam fiqh Islam disamakan dengan bughat (pembelot). Bughat boleh ditindak oleh Negara," sambungnya.
Kedua, dalam mengkaji hubungan antar pemeluk agama, agar tidak menggunakan ajaran agama untuk menumbuhkan sikap intoleran kepada agama lain. "Jika ada yang berpendapat bahwa semua agama itu benar, maka benar menurut agamanya masing-masing. Statemen tersebut bukan wihdatul adyan (penyamaan agama)," jelasnya .
Menurut Anis, adanya kekhilafan sebagian muballigh adalah seringnya mencampuri urusan rumah tangga orang lain. Itulah yang menyebabkan hubungan antar umat beragama bisa terganggu. Kebenaran sebuah agama cukup disampaikan dalam batas lingkup agamanya masing-masing.
Ketiga, dalam mengkaji hubungan antar intern umat beragama, agar menghindari menggunakan ajaran agama untuk mengkafirkan atau membid`ahkan penganut mazhab yang berbeda dengan dirinya.
"Pengikut sebuah mazhab meyakini bahwa para ijtihad imam mazhab pasti merujuk pada dalil-dalil yang kuat menurut kaidah-kaidah ilmu yang ditentukan. Tidak aneh jika muncul sebuah kaidah al-ijtihad la yunqadlu bil ijtihad, yang artinya ijtihad seorang ulama tidak bisa dibatalkan oleh hasil ijtihad lainnya. Termasuk juga larangan mengkafirkan saudara muslim lainnya. Karena orang yang melakukan hal seperti itu terindikasi mengidap kekafiran jua," terang Anis.
Diseminasi moderasi beragama didesain dalam kegiatan Peningkatan Kompetensi Dosen PAI pada PTU bidang Karir dan Profesi, diselenggarakan di Semarang 22-24 Agustus 2019 (n15/M Yani)
Bagikan: