Serpong (Pendis) - Kementerian Agama memulai forum Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) dengan agenda AICIS Dinner Meeting dan dilanjutkan On Stage Discussion dengan mengangkat tema Islamic Studies in Indonesia di ICE-BSD City, Serpong, Senin malam (20/11).
On Stage Discussion dipandu oleh Marissa Grace Haque (STIE Indonesia Banking School) dengan narasumber Nasaruddin Umar (PTIQ Jakarta), Azyumardi Azra (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), Amin Abdullah (UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Husen Muhammad (Fahmina Institute Cirebon) dan Idrus Al Hamid (STAIN Al-Fatah Jayapura).
Nasaruddin Umar yang merupakan Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menekankan perlunya memperkenalkan studi Qur`ani sebagai kitabullah (kitab Allah). "Kita sudah harus memperkenalkan studi Al-Quran sebagai kitabullah, selain Al-Quran sebagai kalamullah, seperti halnya Nabi Muhammad memperkenalkan keduanya. Perbedaanya, kalau kalamullah itu jauh di sana sedangkan yang ada di kita adalah Al-Quran sebagai kitabullah yang historis," paparnya.
Ia menambahkan, "Memang mengenal Al-Quran sebagai kitabullah memerlukan metodologi tersendiri, kita perlu iqra 1, iqra 2 dan seterusnya. Selama ini studi hanya by reason, padahal perlu juga pendekatan Qura`ni, pendekatan impersonal teacher, jangan hanya personal teacher," ujar Imam Besar Masjid Negara Istiqlal tersebut.
Nasaruddin memberikan perumpamaan, "Kita bisa melihat pelajaran dari kisah Nabi Adam yang diajari oleh Allah dengan berbagai ilmu. Di dalam tafsir Thabathaba`i banyak memberi penjelasan tentang hal itu, misalnya kisah Thabathaba`i belajar kepada pohon, kisah para wali berguru kepada roh ulama yang sudah wafat, belajar pada burung, hewan dan sebagainya. Kita biasa mengenal dengan istilah ilmu ladunni, meski selama ini ada juga sebagian orang yang membid`ahkan ilmu laduni tersebut," ulasnya.
Dalam konteks kemerdekaan Indonesia, Nasaruddin yang juga Staf Ahli Wakil Presiden mengungkapkan bahwa perjuangan para kiai, ulama dan pahlawan nasional tak lepas dari ilmu laduni.
"Pada tahun 1927-1928 untuk memperjuangkan Indonesia itu menggunakan ilmu laduni, namun kenapa selama ini kita lebih kebarat-baratan. Kita bisa belajar dari Nabi Muhammad yang setiap malam bisa datang. Seperti halnya Ibnu Arabi yang belajar kepada Nabi, begitu juga Imam Al-Ghozali yang disebutkan dalam kitabnya, Ihya Ulumuddin," pungkasnya. (ogie/dod)
Bagikan: