Tengger (Pendis) - Sejak tanggal 27 November 2017, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam menitipkan peserta Short Course Community Outreach (SCCO) di UIN Sunan Ampel Surabaya. Memasuki minggu kedua ini, peserta diperkenalkan dua pendekatan dalam pemberdayaan masyarakat, yakni Asset Based Community Development (ABCD) dan pendekatan riset partisipatoris. Peserta mengikuti short course di sebuah desa yang bernama Wonokriti, sebuah desa di lereng gunung Tengger. Hal ini dimaksudkan agar para peserta merasakan secara langsung berinteraksi dengan masyarakat. Masyarakat Tengger dikenal sebagai masyarakat mayoritas dengan pemeluk agama Hindu. Maka merasakan dan memahami komunitas secara riil menjadi penting sebelum mengenal berbagai pendekatan dalam pemberdayaan ini.
Pendekatan ABCD adalah pendekatan pemberdayaan yang menggunakan pemetaan asset sebagai langkah awalnya. Dalam ABCD ini, pemberdayaan yang dilakukan komunitas dalam masyarakat, memahami aset menjadi hal yang sangat penting. Pertama kali pendekatan ABCD diperkenalkan di UIN Sunan Ampel Surabaya dan UIN Alauddin Makassar melalui program kemitraan Kementerian Agama dengan SILE Canada.
Pendekatan ABCD dilakukan komunitas untuk melakukan social change melalui pemahaman aset yang dimiliki komunitas masyarakat. Beberapa langkah yang harus dilakukan pertama adalah mapping asset yang ada di masyarakat. Tentunya dengan teknik bertanya yang memadai untuk mendapatkan informasi dari masyarakat secara komprehensif. Pendekatan humanis dan penuh penghargaan menjadi tool utama penggalian datanya. Hanya dengan cara saling menghargai itulah, peneliti akan dapat informasi lebih banyak tentang aset-aset yang ada di dalam masyarakat. Memahami cara bertanya bukan hanya sekedar bertanya, tetapi memahami kondisi dari masyarakat dengan berbagai spektrum yang menyertainya. Setelah asset berhasil dipetakan, tahap selanjutnya adalah mendiskusikannya yang diikuti dengan perencanaan desain mengelola aset.
Kendala yang sering dihadapi dalam ABCD ini adalah jika semua aset yang sudah diketahui tidak diikuti dengan desain atau kelola yang baik. Aset yang ada menjadi kurang berguna bahkan hanya menginformasikan asset kepada orang lain dan pihak lain tersebut kemudian memanfaatkannya. Maka dari itu, setelah dilakukan desain perencanaan tentang pengembangan aset, komunitas harus mampu berkolaborasi untuk menyusun perencanaan dan pelaksanaannya dengan baik. Pendekatan ABCD banyak mengalami kendala di lapangan karena program-program yang disusun oleh kelompok (komunitas) terbatas. Sehingga, rumusan hasil perencanaannya terkadang kurang sesuai dengan apa yang dibutuhkan masyarakat.
Melalui diskusi dan kajian dalam salah satu mata short course; mengkaji perbandingan ABCD dan riset partisipatoris, peserta diajak untuk mencari titik temu dua pendekatan pemberdayaan masyarakat ini. Pendekatan ABCD diorientasikan kembali kepada pemahaman aset yang sebenarnya, bukan pemahaman aset secara fungsionalis yang disebut dengan pemahaman structure humanis jika diarahkan untuk perubahan sosial.
Pelibatan masyarakat secara utuh dan cara pandang yang komprehensif akan menjadikan PTKI bisa memiliki ABCD model baru. (marto/n15/dod)
Bagikan: