Bogor (Pendis)- Publikasi adalah hulunya penelitian, itulah yang disampaikan Sekretaris Jenderal Kementerian Agama, M. Nurcholis Setiawan dalam menjelaskan posisi publikasi karya akademik dosen PAI pada PTU. Hal itu disampaikan dalam Workshop Publikasi pada Jurnal Terakreditasi pada tanggal 21 hingga 23 November 2019.
Hal yang sama juga disampaikan Direktur Pendidikan Agama Islam, Rohmat Mulyana. Bahkan menurutnya, untuk menghasilkan artikel yang berkualitas, seorang dosen harus memiliki komitmen yang serius. "Saya membahasakan komitmen tersebut dengan istilah keikhlasan," jelasnya menegaskan.
Untuk memberikan semangat dalam menulis, Nurcholis menyampaikan aspek-aspek yang harus diperhatikan.
Pertama, aspek substansi yaitu Aspek yang pertama kali dilihat oleh reviewer adalah noveltinya. Di dalam aspek ini setidaknya ada 4 hal yang juga harus menjadi perhatian para dosen; (1) afirmasi, yakni artikel yang ditulis menguatkan kembali penelitian sebelumnya, tapi kita memiliki scope widening. Argumen yang diajukan penulis hanya memperluas perspektifnya; (2) dekonstruksi, yakni meneguhkan pendapat teori sebelumnya, tapi tidak sepenuhnya; (3) destruksi, yakni membantah temuan penelitian sebelumnya; dan (4) inovasi yakni artikelnya memberikan temuan baru.
Aspek ini juga menjadi kepedulian Anis Masykhur, Kasi Bina Akademik PAI pada PTU. Menurutnya, bahwa substansi ini masih menjadi persoalan serius bagi dosen PAI, bahkan termasuk dosen pada PTKI. "Untuk mendapatkan substansi yang berkualitas, seorang dosen harus rajin mengakses sumber-sumber informasi ilmu pengetahuan dan kemudian membacanya," kata Anis memberikan solusi.
Kedua, gaya selingkung. Gaya selingkung menjadi perhatian reviewer selanjutnya. "Kadang juga menjadi perhatian awal, jika sebuah jurnal sudah memiliki gengsi," kata Imam Machalli, praktisi jurnal pendidikan Islam UIN Sunan Kalijaga menjelaskan. "Jika di awal sudah terlihat tidak taat asas, maka penerima email atau admin akan langsung menolaknya," jelasnya lebih lanjut. Maka, perlu diperhatikan pada saat submit artikel jurnal tersebut.
Ketiga, gaya bertutur. Salah satu hal yang juga menjadi perhatian reviewer adalah penggunaan bahasa. Bahasa harus lugas dan tidak mengenal kata bersayap (ambigu). Guru Besar UIN Jogjakarta yang juga pernah menjadi assesor jurnal Dikti ini juga mmemberikan perspektifnya tentang tata perjurnalan. Menurutnya, jurnal seharusnya dikelola asosiasi profesi, bukan oleh fakultas atau prodi. Namun demikian, yang demikian ini tidak signifikan dalam mengurangi kualitas sebuah jurnal.
Pada workshop ini pula, para peserta mendapatkan materi tentang tip dan trik agar artikelnya bisa dipublikasikan pada jurnal terakreditasi. Termasuk juga pelatihan singkat membuat referensi pola mendeley dan zotero. (N15/Hik)
Bagikan: