Jakarta (Pendis) Tantangan terbesar bagi Muslim Indonesia sebagai penduduk mayoritas yang hidup di tengah negara-Pancasila yang pluralistik ini adalah bagaimana mewujudkan syariat Islam sebagai rahmat atau penebar damai dan rujukan keadilan yang dapat diterima secara tulus oleh seluruh komponen bangsa Indonesia, baik melalui legislasi maupun non-legislasi.
Demikian disampaikan, Marzuki Wahid
Dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon, dalam Tadarus Litapdimas Seri ke-7, Kamis (14/05/2020). Seri tadarus hasil penelitian terbaik kampus-kampus Islam kali ini mengambil tema `Pendulum Syariah: Antara Negara dan Masyarakat`.
"Pancasila sudah kita terima secara utuh, sebagai keniscayaan sejarah yang sudah final dalam pandangan keislaman kita," Kata Marzuki yang menjadi pembahas dua penelitian terkait, yakni penelitian yang dilakukan oleh Asep Saepudin Jahar (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) dan M. Husnul Abid (UIN Sultan Thaha Saifuddin Jambi). Keduanya merupakan peneliti terbaik tingkat nasional pada BCRR (Biannual Conference on Research Result) Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama RI Tahun 2019.
Asep Saepudin Jahar dalam presentasinya bertajuk `Birokratisasi Syariah di Indonesia: Studi Kasus Zakat dan Wakaf` mengungkapkan adanya birokratisasi syariah di Indonesia dari hasil pengkajian khusus pada pelaksanaan hukum zakat dan wakaf. Berlangsungnya pelaksanaan Syariah
di Indonesia saat ini bertujuan untuk memodernisasi sistem hukum dengan pendekatan birokratisasi bagi umat Islam dalam rangka memberikan kepastian dan keadilan.
"Penelitian saya membantah para ahli yang mengatakan bahwa inkorporasi syariah ke dalam hukum negara dianggap sebagai upaya Islamisasi. Sebaliknya, berlangsungnya syariah dalam ranah public sebagai penguatan birokratisasi daripada Islamisasi," ujarnya.
Dikatakannya, inkorporasi syariah ke dalam hukum negara adalah bagian dari upaya institusionalisasi
dan rasionalisasi hukum dalam sistem negara modern. Institusionalisasi Syariah di Indonesia secara eksklusif bukan dari bagian gerakan
syariatisasi tetapi lebih sebagai kebutuhan untuk pelayanan public dalam hal administrasi urusan agama yang terkait dengan public.
Mekanisme manajemen Syariah
model ini menuntut adanya infrastruktur resmi yang mengatur interrelasi dan partisipasi
public. Struktur Lembaga dalam negara hanya bisa berlangsung legal dan memberikan jaminan jika negara menerapkan aturannya. "Jika hal itu dibiarkan tanpa aturan negara,
yang terjadi adalah kekisruhan public," ujar Asep.
M. Khusnul Abid mempresentasikan hasil peneltiannya mengenai aspirasi Islam dalam gerakan sosial kalangan muda di Jambi. Ia memusatkan perhatianya pada kelompok Tarbiyah dalam bidang pendidikan, politik, sampai perjodohan.
Pada era reformasi, kata Khusnul Adib, terjadi kebangkitan masyarakat adat. Orang Jambi, adat bersendi syara` dan syara` bersendi kitabullah. Namun pada saat yang sama muncul kelompok Tarbiyah yang berpandangan bahwa ajaran adat tidak sepenuhnya sesuai dengan syariat Islam.
Dikatakannya, kelompok ini juga diminati oleh kalangan mahasiswa dan kelas menengah dan berjejaring secara naional. Gerakannya cukup solid dan komitmen-kometmen yang diikatkan bisa lebih kuat dari ikatan keluarga inti dan masyarakat.
Menanggapi hal itu, Marzuki Wahid mengatakan, gerakan-gerakn Tarbiyah dan semacanya memang sudah mempersiapkan diri secara sistematis sebagai gerakan kultural sepanjang di bawah tekanan Orde Baru melalui kampus-kampus dan sekolah-sekolah. Gerakan Tarbiyah ini kemudian membentuk partai politik saat kran demokrasi dibuka pada tahun 1998.
Lebih lanjut terkait tema yang sedang dibahas, menurutnya, tidak bisa diingkari bahwa sekarang syariat Islam tidak saja diakomodasi secara kultural bahkan telah menjadi hukum negara (state law) yang dilegislasikan, baik melalui undang-undang maupun sejumlah peraturan daerah.
"Pertanyaannya adalah apakah kenyataan ini menunjukkan keberhasilan pendukung syariat Islam eksklusif untuk memformalkan syariat Islam dalam tubuh negara dan kegagalan pendukung syariah inklusif? Nanti dulu. Sebab, meskipun banyak syariat Islam telah dilegislasikan, baik dalam bentuk undang-undang maupun peraturan daerah, namun Indonesia masih tetap menjadi negara-Pancasila, tidak berubah menjadi negara-Islam," ujarnya.
Sebelumnya, Direktur PTKI Arskal Salim yang memberikan pengantar tadarus mengatakan, tidak ada model penerapan hukum Islam atau dalam istilah Asep Saepudin birokratisasi syariat Islam yang sama di berbagai negara. Indonesia dan Malaysia sebagai negara serumpun pun berbeda dalam penerapan syariat Islam, begitu juga negara-negara Muslim Timur Tengah dan belahan dunia lain.
Tadarus online seri ke-7 yang dipandu oleh Syaifuddin Zuhri dari IAIN Tulungagung ini memanfaatkan aplikasi Zoom Meeting yang disebarluaskan melalului akun Youtube Pendis Channel.
Artikel Tadarus Litapdimas seri ini dan seri-seri sebelumnya dapat diakses di laman www.kemenag.go.id dan https://arrahim.id/ serta kanal Jendela Penelitian dan Pengabdian Masyarakat pada www.pendis.kemenag.go.id. (Anam/Hik)
Bagikan: