Pembangunan Waduk Jatigede Sumedang, Jawa Barat oleh pemerintah menjadi semacam strategi untuk mengatasi kekeringan di musim kemarau dan banjir di musim penghujan khususnya di daerah Pantura Jawa Barat yang meliputi Kabupaten Majalengka, Cirebon, dan Indramayu. Pembangunan Waduk Jatigede ini diharapkan dapat berfungsi sebagai penyedia air baku untuk areal pertanian. Selain itu juga untung pembangunan pembangkit listrik, perikanan dan pariwisata.
Waduk Jatigede dibangun di atas lahan seluas 4.891,13 ha yang meliputi lima kecamatan dan dua puluh enam desa, yang terdiri dari Kecamatan Jatigede (751,45 ha), Kecamatan Jatinunggal (229,25 ha), Kecamatan Wado (461,22 ha), Kecamatan Darmaraja (1.606,36 ha), Kecamatan Cisitu (73,45 ha).
Desa Pawenang, Kecamatan Jatinunggal, Kabupaten Sumedang merupakan desa yang menjadi tempat relokasi bagi warga masyarakat yang tergenang oleh proyek pembangunan tersebut. Hal ini menjadikan adanya proses adaptasi di kedua belah pihak, baik dari masyarakat pendatang maupun dari masyarakat desa setempat. Seperti yang terjadi di Kampung Sukahening yang kini ditempati oleh warga dari pendatang dari beberapa desa seperti Desa Buah Ngariung, Pada Jaya, Sundulan, Bojong Salam, Jemah, dan desa lainnya.
Menurut hasil penelitian Endah Ratna Sonya pada tahun 2018 berjudul Adaptasi Terdampak Pembangunan Waduk Jatigede (Kasus di Desa Pewenang Kecamatan Jatinunggal Kabupaten Sumedang) masyarakat pendatang masih banyak yang menutup diri dan tidak mau bersosialisasi dengan warga sekitar Kampung Sukahening. Mereka masih canggung dalam pergaulan, seperti dalam hal kerja bakti, kegiatan hari-hari besar, sehingga masyarakat pendatang masih bersifat individu dalam kehidupan bermasyarakat.
Namun, hal tersebut tidak terjadi pada mereka yang sama-sama pendatang. Peneliti menemukan bahwa anatara sesama pendatang justru sangat akrab bersosialisasi, mereka melakukan kegiatan bersama, dan berinteraksi dengan baik.
Beberapa faktor yang menjadi sebab terjadinya hal tersebut, menurut penelitian yang didukung oleh Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama tersebut, adalah adanya kesibukan aktivitas masing-masing yang menyebabkan mereka sulit sekali untuk bertemu dan berinteraksi. Selain itu juga disebabkan karena jarak permukiman warga pendatang dan penduduk asli yang sedikit berjauhan, terhalang oleh jalan raya dan sawah, sehingga menjadi penghambat ketika akan melakukan interaksi, sehingga interaksi yang terjadi hanya sekadar saling bertegur sapa.
Interaksi sosial masyarakat relokasi Waduk Jatigede dengan masyarakat pribumi jika dilihat dari teori interaksionisme simbolik dari tokoh George Herbert Mead, bahwa perilaku manusia tidak bisa dilepaskan dari proses komunikasi sebagai bentuk Interaksi dalam masyarakat. Manusia bertindak terhadap manusia lainnya itu berdasarkan makna yang diberikan orang lain kepada mereka, makna diciptakan dalam interaksi antar manusia.
Begitu juga dengan interaksi dalam masyarakat pendatang relokasi Waduk Jatigede dengan masyarakat pribumi. Mereka berinteraksi ketika ada tindakan yang dilakukan oleh lawan bicaranya. Individu tergerak untuk bertindak berdasarkan makna yang diberikannya pada orang, makna tersebut diciptakan dalam bahasa yang baik yang digunakan dalam berkomunikasi dengan orang lain ataupun diri sendiri.
Penelitian tersebut menjadi laporan akademik kluster jurnal penelitian dan pengabdian PTKI. Kesimpulan dari penelitian ini antara lain dijelaskan, bahwa pola interaksi sosial antara masyarakat pendatang dengan masyarakat pendatang adalah pola asosiatif karena sesama masyarakat pendatang mereka sangat akrab karena adanya kerja sama dan kepentingan bersama, seperti gotong royong, kerja bakti, pengajian rutin, kegiatan ronda malam, memperingati hari-hari besar, perbaikan jalan, serta berusaha menyesuaikan diri sesama masyarakat pendatang yang tentunya bisa jadi ada yang beda dalam hal kebiasaan.
Sementara dalam bentuk akomodasi sesama masyarakat pendatang yaitu mereka memilih berdiam diri ketika ada sesuatu kesalahpahaman atau yang sifatnya menyinggung perasaan, karena dengan cara tersebut akan lebih efektif sehingga tidak menjadi pertikaian dan pertentangan.
Sedangkan pola interaksi sosial antara masyarakat pendatang relokasi Waduk Jatigede dengan masyarakat pribumi di Kampung Sukahening yaitu pola interaksi disosiatif. Karena terlihat dari ketidakharmonisan mereka dalam interaksi dan komunikasi yang intens antara masyarakat pendatang dengan masyarakat pribumi Kampung Sukahening. Seperti kecemburuan sosial dalam hal kegiatan ronda malam, perbaikan jalan yang jarang sekali ikut berpartisifasi.
Kemudian, karena masyarakat pendatang lebih akrab dengan masyarakat pendatang lagi mungkin karena mereka merasa satu nasib sebagai masyarakat yang direlokasi ke Kampung Sukahening akibat pembangunan Waduk Jatigede. Pola interaksi seperti itu akan menjadi hal yang menyebabkan terkikisnya nilai-nilai budaya gotong royong, solidaritas sesama masyarakat, dan lain-lain.
Peneliti memberikan saran agar masyarakat pendatang di Kampung Sukahening, harus bisa lebih beradaptasi dan berinteraksi dan bersosialisasi dengan baik di lingkungan Kampung Sukahening terutama dengan masyarakat pribuminya.
Sedangkan untuk masyarakat pribumi di Kampung Sukahening, agar senantiasa bisa menyambut dan merangkul masyrakat pendatang. Dan untuk pemerintah sekitar, untuk membuat program-program yang sifatnya bertujuan untuk meningkatkan interaksi dan solidaritas yang tinggi anatara masyarakat pendatang dan masyarakat pribumi, selain itu juga tolong perhatikan sarana dan prasarana Kampung yang sekiranya tidak layak untuk segera diperbaiki guna kenyamanan masyarakat bersama.
Penulis: Kifayatul Ahyar
Editor: Kendi Setiawan
Tags: #Diktis #penelitian #Waduk Jatigede
Bagikan: