Sore hari barulah kami sampai di depan gapura yang terdiri dari tumpukan batu bata. Ornamen khas Jawa terlihat dari kedua sisi bangunan berwarna coklat tanah liat. Kami menaiki satu demi satu anak tangga yang licin karena hampir seharian terkena tempias air hujan. Pada setiap anak tangga berwarna hijau itu banyak bunga kertas yang masih menggantung, berjatuhan dan berserakan. Meskipun langit masih mendung, kondisi itu tidak menyurutkan keinginan kami untuk menziarahi makam Kiai Muslim Muhammad Khalifah atau Kiai Mojo (1849 M) dan K.H. Ahmad Rifa’I (1871 M). itu merupakan Taman Makam Pahlawan Nasional Tondano yang terletak di sebelah utara Danau Tondano dan berjarak sekitar 40 km dari arah selatan Kota Manado.
Sepenggal kisah Ini diambil bukan dari daerah Jawa Tengah atau Jawa Timur yang kuat dalam tradisi nyekar atau menziari kubur, melainkan dari komplek Taman Makam Pahlawan Nasional yang terletak di Kampung Jawa, Tondano Utara, Minahasa, Sulawesi Utara.
Kiai Mojo sendiri merupakan ulama kepercayaan Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa (1825-1830). Abdul Qadir Djaelani menyebut Kiai Mojo sebagai wakil Pangeran Diponegoro untuk perundingan dengan Belanda pada 29 Agustus 1827 di Klaten. Dalam upaya itu Kiai Mojo tegas mengajukan beberapa tuntutan yang dinilai sulit dan tidak menemui kesepakatan (Perang Sabil Versus Perang Salib, 1999:34). Kiai Mojo kemudian diasingkan oleh Belanda ke Minahasa pada 1829 M, sekitar satu tahun sebelum Perang Jawa berakhir.
Sementara itu K.H. Ahmad Rifa’i termasuk pelopor berdirinya organisasi sosial keagamaan Rifa’iyyah. Organisasi ini menyuarakan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan Belanda terhadap penduduk setempat. Ulama ini juga memiliki ratusan karya tulis berupa sya’ir, nadhom, tanbih dan lain sebagainya berkaitan tentang disiplin ilmu fiqih, ushuluddin dan tasawuf. Beliau disingkirkan dari Jawa ke Minahasa pada 1863 M.
Kondisi Keberagamaan Di Indonesia
Menurut informasi yang beredar luas, dalam sensus penduduk yang diadakan pemerintah tahun 2019 silam, penganut agama di Minahasa beragam. 85,29% diantaranya memeluk agama Prostestan, Katolik berkisar 8,07%, penganut agama Islam dengan persebaran 6,55% serta 0,06% beragama Hindu.
Sebagai minoritas, masyarakat muslim di Minahasa memiliki tantangan tersendiri dalam beragama dan bernegara. Hal demikian juga dialami penganut agama lain yang notabene berada di lingkungan minoritas, perundungan hingga kurang terjaminnya hak menjalankan ibadah sesuai keyakinan menjadi fenomena lazim di masyarakat. Kondisi demikian tentu bukan hal yang ideal mengingat undang-undang di Indonesia menghargai eksistensi manusia.
Kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia akhir-akhir ini cukup memprihatinkan, selama kurun waktu 2007-2022 berkaca dari catatan longitudinal SETARA Institute terdapat 140 kasus perusakan dan 90 kasus penolakan pendirian tempat ibadah. Kasus ini menempati posisi kelima terbanyak tentang pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Lebih ironis lagi, kasus perusakan dan penolakan pendirian tempat ibadah seperti gangguan penolakan pembangunan rumah ibadah, gangguan saat pembangunan rumah ibadah, penyegelan tempat ibadah, gangguan saat beribadah di rumah ibadah, perusakan rumah ibadah hingga penyerangan orang yang berada di rumah ibadah dilakukan oleh aktor non-negara dan/atau negara.
Masih adanya potret buram kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia mengindikasikan rendahnya penghargaan terhadap nilai kemanusian. Padahal nilai kemanusiaan seharusnya menjadi bagian integral dalam mengawal kemajemukan beragama di Indonesia secara sistemik maupun non-sistemik; norma hukum yang inkonstitusional, lemahnya penegakan hukum serta maraknya intoleransi seperti ujaran kebencian.
Ramadan Bulan Tarbiyah
Momentum Ramadan dimaknai sebagai upaya pembelajaran, kawah candradimuka untuk meningkatkan pribadi maupun kolektif menjadi lebih baik. Bulan Ramadan juga sering dianggap sebagai bulan tarbiyah atau pendidik. Tidak heran jika banyak orang menyiapkan dan menyambut kedatangan bulan Ramadan dengan gegap gempita.
Ramadan juga sering disebut sebagai bulan tarbiyah, pertama merupakan tarbiyah al-jasad, mendidik tubuh. Selama bulan Ramadan, orang Islam yang mukalaf dan tidak memiliki udzur syar’i (penghalang menjalankan kewajiban menurut syariat Islam) diwajibkan berpuasa. Dalam pelaksanaan puasa tidak diperkenankan makan-minum sekalipun dengan sesuatu yang halal. Kedua, Ramadan sebagai tarbiyah ar-ruh, mendidik ruh. Puasa juga sering disebut dengan imsak (menahan diri) dari segala sesuatu yang bisa merusak nilai dan menghilangkan substansi ibadah. Kaitannya dengan mendidik ruh, puasa biasa diartikan sebagai perisai atau benteng bagi hati seseorang untuk menahan diri dari sifat sombong, iri, dengki, rakus dan lain sebagainya.
Ketiga, Ramadan sebagai tarbiyah ijtima’iyyah, mendidik sikap persatuan, kebersamaan. Diharuskannya menunaikan ibadah puasa mendidik umat Islam untuk peduli dengan orang lain. Berpuasa memberikan pembelajaran pada manusia bahwa ia lemah, tidak berdaya dan membutuhkan energi selain dirinya. Kesadaran ijtima’iyyah atau persatuan dalam puasa di bulan Ramadan layak menjadi perekat sikap pemeluk setiap agama di Indonesia, bahwa Indonesia mampu maju dan bersaing dengan negara-negara lain karena semangat persatuan.
Ramadan sebagai bulan tarbiyah, kawah candradimuka baik dijadikan pijakan memupuk kesadaran ijtima’iyyah keberagamaan di Indonesia. Benang kusut kebebasan beragama dan berkeyakinan harus segera terurai, jangan sampai permasalahan yang sama terjadi terus-menerus dan menghambat pembangunan Indonesia menjadi negara maju, wallahu a’lam.
Oleh: Moch. Abdul Kholiq (Staf pada Direktorat KSKK Madrasah)
Bagikan: