Birokrat Jangan Terjebak Rutinitas dan Seremonial

Birokrat Jangan Terjebak Rutinitas dan Seremonial

Bogor (Pendis) - Menurut penelitian ACDP (Analytical and Capacity Development Partnership) yang disimpulkan oleh Sri Mulyani menyebutkan bahwa 60% waktu bagi seorang pejabat telah terjebak dalam rutinitas dan seremonial. "Ini merupakan patologi (penyakit, red) birokrasi. Semakin tinggi jabatan, terjebaknya akan semakin dalam. Ini yang saya rasakan, agendanya hanya membuka dan menutup kegiatan," kesah Sekretaris Direktorat Jendaral Pendidikan Islam, Ishom Yusqi di Bogor, Jum`at (28/08/15).

Sekitar 40% waktu sisanya, lanjut Ishom, "kemungkinan" baru bisa berpikir kreatif dan inovatif, itupun kalau tidak tersita dengan kegiatan lain yang harus dihadiri. "Oleh karena kegitan harus disiasati agar tidak monoton," tegas Guru Besar IAIN Ternate ini di hadapan para Kepala Bidang (Kabid) Pendidikan Madrasah pada acara "Koordinasi Pengelolaan BMN Pusat dan Kanwil Kementerian Agama RI".

Masih menyoroti kegiatan di Ditjen Pendis yang monoton ini, Ishom mengintruksikan agar semua kegiatan di unit eselon I Pendis harus mempunyai skala prioritas yang jelas bukan sekedar rutinitas.

"Kita ingin adanya program prioritas bukan rutinitas. Acara-acara nasional juga terlalu banyak, karena banyak show off-nya. Skala prioritas dimulai dari skala pertahun sampai 5 tahun," tegas Ishom yang ingin merencanakan "bedah" RKKAL bersama Dirjen dan para pejabat terkait.

Di Direktorat Pendidikan Madrasah, contoh Ishom, seharusnya jangan semuanya diagendakan dalam RKKAL (Rencana Kerja & Anggaran Kementerian Negara/Lembaga).

"Misalnya, MAN IC (Insan Cendikia) dituntaskan pada tahun anggaran 2015. Kemudian tahun 2016 difokuskan pada program Madrasah Vokasional, 2017 Madrasah Keagamaan, begitu seterusnya. Akhirnya setiap tahun akan nampak skala prioritasnya. Program pun akan mentes (berkualitas, red) dan maton (tertata, red)," sambung Ishom.

Di Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren pun, tambah Ishom, harus mempunyai skala prioritas. Pondok Pesantren sebagai pencetak kader ulama, apakah sudah ada program tafaqquh fiddin di direktorat itu? Apakah program pengkaderan ulama sudah pada rel yang benar dan bukan hanya formalitas, terjebak pada model-model SKS perguruan tinggi?

"Kalau program hanya normatif saja, maka tidak dilihat sebagai sesuatu yang spektakuler," cetus mantan Kepala Seksi di Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren ini.

Menyoroti fungsi pelayananan yang kurang "prima" di Pendis, Ishom menegaskan bahwa sebagai pelayan publik, semangat ini harus tetap lekat dan jangan selalu meninggalkan ruangan hanya demi sebuah kegiatan yang sebetulnya bisa dilaksanakan oleh beberapa orang saja.

"Tradisi bedol deso (ruangan, red) pada setiap kegiatan adalah tradisi ini tidak baik," tegas Pak Ses (Sekretaris).

(viva/dod)


Tags: