<i>Banalitas</i> Kritik Riuh Politik Versus Komunikasi Etik

<i>Banalitas</i> Kritik Riuh Politik Versus Komunikasi Etik

"Kritik". Kata satu ini sudah seperti mantraguna sepanjang tiga tahun terakhir di tengah masyarakat Indonesia. Sejak dimulainya periode 2014-2019 sampai hari ini. Terdengar sudah seperti teriakan. Lengkingannya makin lantang mendekati Pilpres 2019. Dalam alam demokrasi tentu pertanda baik. Itu berarti komponen bangsa di segala kelasnya semakin menyadari hak-hak kewarganegaraan (citizenship).

Dengan demikian, aparatur pelaksana negara dan pemerintahan semakin tersorot. Pengawasan internal dan eskternal di tiap kelembagaan negara kian ketat, kuantitas maupun kualitas pengawasan. Reformasi biokrasi dalam mekanisme reward and punishment kian tertuntut semakin dibenahi. Terlebih kanal pengawasan masyarakat kini semakin tersebar.

Tak hanya lembaga legislatif dan Ombudsman semata. Posko pengaduan layanan online pun disediakan pemerintah, hampir di setiap lembaga, pusat maupun daerah. Jika ada unsur korupsi, KPK serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyediakan sistem pelaporan yang menjamin keamanan dan keselamatan diri dan keluarga pelapor.

Permasalahannya: di tengah peningkatan kualitas demokrasi, masyarakat Indonesia mengalami eforia politik dalam polarisasi politik identitas yang amat tajam. Bangsa mengalami puberitas kesadaran politik. Tak mudah mengurai benang kusut situasi seperti ini. Tapi setidaknya ada benang merah yang dapat dibentangkan. Baik aspek problem masyarakat dan media maupun problem negara dan pemerintah sebagai pelaksana mandat rakyat. Keduanya beririsan dengan muatan politik praktis, alam politik elektoral.

Aspek Golongan Masyarakat dan Media

Pertama, sebagaimana remaja tengah beranjak dewasa, letupan geloranya sangat tinggi. Menuntut hak tanpa diimbangi dengan pelaksanaan kewajiban. Politik elektoral yang menyertai animo kritik bermutasi menjadi industri politik. Politik praktis butuh suara. Dengan itu membelah masyarakat, dengan itu pula butuh saluran komunikasi.

Namun, kritikan berbalut partisan politik praktis akan selalu dilandasi subjektivitas. Pembelahan politik yang terjadi dalam alam politik elektoral akan selalu menghadirkan reaksi dan bukan responsi. Karena reaktif, kaidah dan parameter kritik tak lagi dilandasi cara-cara etik, over generalisir, motivasi mencari kesalahan dan bukan sebenar-sebenar memperbaiki kesalahan, tidak lagi dalam koridor konstitusional. Koridor konstitusional pun cenderung dijadikan alat memenuhi dahaga partisan dan pemenangan politik elektoral.

Itulah banalitas kritikan yang terjadi dalam dua tahun terakhir. Kasus legislator Komisi III DPR RI Arteria Dahlah, pengumpat kata tak senonoh terhadap Menteri Agama, Maret 2018--- dan itu dianggap mewakili konstituen bersangkutan--- masuk dalam kluster banal ini. Banalitas kritik semakin binal manakala bertalian dengan industri pers dan sosial media.

Dalam amatan Alfi Rahmadi, jurnalis senior dan analis isu strategis, industri pers Indonesia masih dominan menganut paradigma dan doktrin lama sebagaimana doktrin pers di Utara: bad news is good news. Doktrinasi ini menipiskan harapan dan menggiring bangsa menjadi pesimis. Bukan good news is good news, sebuah paradigma dan doktrin yang lebih dibutuhkan di Selatan sebagaimana pada negara yang sedang berkembang.

Negara yang tengah berkembang, dan umumnya di Selatan, lebih membutuhkan inspirasi serta berbagai narasi yang membangun dan berdaya saing. Pers di Utara yang menyajikan doktrin demikian, dalam amatan Alfi Rahmadi, telah diimbangi oleh kesadaran hak dan simultan dengan kewajiban masyarakat sebagai warga negara. Pada masyarakat Indonesia masih dalam lanskap tuntutan hak semata, tanpa diimbangi kewajiban sebagai warga negara.

Kritikan golongan masyarakat sebagaimana massif di sosial media juga cermin dari perwajahan industri pers. Pers di tanah air, cenderung menyediakan "jurnalisme siap saji": terpusat pada peristiwa anomali dan sensasional. Akibatnya kering akan makna; tidak ada pijakan atau perspektif sehingga seringkali mendangkalkan pemahaman utuh masyarakat.

Masyarat dalam mencerna sajian informasi jurnalisme "junk food" itu, Alfi Rahmadi menyebutkannya sebagai fenomena shallow syndrome. Ini sebuah fenomena narasi nyinyir. Tidak ada argumentasi berlapis-lapis, tidak ada data kuat dan fakta berimbang yang dapat diolah sebagai penalaran untuk sampai pada kesimpulan. Tapi narasi yang disampaikan massif di sosial media itu mau dianggap hebat oleh sang komunikan karena dianggap kritis.

Fenomena konglomerasi industri media massa privat bertalian dengan kepentingan politik praktis pemodal industri media tersebut juga mengakibatkan agenda setting yang disusun pemerintah sebagai pesan untuk dikonsumsi publik, menjadi kurang ditanggapi.

Kalaupun ditanggapi, hanya ditanggapi secara dangkal, bersandar pada peristiwa sensasional, bukan dalam parameter korektif. Namanya juga politik praktis, maka tentu mengabaikan objektivitas apa yang telah capai dan apa yang tengah ditempuh pemerintah sebagai proses pembenahan dan pembangunan.

Akibatnya, paradigma umum masyarakat belum mampu membaca secara objektif terhadap kemajuan besar politik Indonesia berkah reformasi, dengan dalih realitas ekonomi semata. Seolah tiap tahun tidak lebih baik, kalau bukan justru lebih buruk. Masyarakat lebih ingin melihat hasil, dan bukan pada proses. Capaian dan prestasi kerja pemerintah pun dianggap pencitraan, bukan sebenar-benar sebagai pencapaian kerja.

Padahal pembenahan dalam alam reformasi terletak pada proses. Kalau bersandar semata pada hasil, itu revolusi namanya. Paradigma reformasi adalah pembenahan di bagian yang penting untuk dibenahi. Dari pembenahan yang telah dicapai ditularkan pada bagian lainnya. Begitu seterusnya.

Aspek Negara dan Pemerintah

Kedua, ini problem birokrasi yang terus-menerus dibenahi. Sumbatan komunikasi dan implementasi kebijakan publik seringkali nampak sebagai akibat hirarki otoritas dan aturan formal-rinci sehingga nampak kaku betapapun kualitas perencanaan yang telah ditetapkan.

Kekakuannya itu dapat disimak dari persepsi masyarakat terhadap kebijakan publik yang cenderung melupakan unsur kemanusiaan. Seperti urgensi yang mesti dilaksanakan cepat agar tidak menghambat pelaksanaan kebijakan ketika diterapkan di lapangan nyata.

Belum lagi persepsi publik mengenai faksi biokrat lama di tubuh institusi negara yang anti-perubahan siapapun pimpinan di Kementrian/Lembaga Negara (K/L). Menteri dan Dirjen boleh saja silih-berganti datang-pergi di setiap periodik. Tapi mereka yang sudah puluhan tahun bekerja di K/L dinilai tetap menguasai jeroan yang ada dalam biokrasi.

Mereka selalu dicurigai bermain proyek. Menjadi perantara yang baik dalam mengakomudasi kepentingan politik dan bisnis kelompok spesial kepentingan kebijakan--disebut sebagai SIG: special interest group. Baik SIG politik maupun bisnis, rantainya oligarki.

Persepsi tersebut semakin mendapat pembenaran manakala ada satu di antara jutaan biokrat dipanggil KPK untuk menjadi saksi sejumlah kasus korupsi. Apalagi ditetapkan sebagai tersangka. Laporan tahunan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) memberikan ponten merah (disclaimer) ditanggapi bukti penyimpangan keseluruhan unsur dalam biokrat. Betul-betul over generalisir.

Bila `diserbu` badai kritik golongan masyarakat dalam polarisasi partisan politik praktis--tepatnya cibiran dan bahkan penghinaan--ditanggapi secara beragam. Keberagamannya juga terbelah menjadi dua irisan besar: reaktif dan responsif. Dalam kasus Arteria Dahlan misalnya. Bagi kelompok reaktif, harga diri dikedepankan.

Kelompok ini mengutuk dan mengecam dengan kadar masing-masing. Tapi tak sedikit pula yang menarik ke ranah hukum, baik hukum sosial maupun hukum positif. Bagi kelompok responsif, sikap Arteria yang sedemikian tak senonoh memang sulit diterima. Dan untuk itu mereka memberlakukan sanksi sosial. Bentuknya: himbauan kepada masyarakat agar tidak memilih lagi yang bersangkutan dalam Pemilu Legislatif 2019.

Meski demikian, bagi kelompok responsif ini, mereka tetap menyorot subtansi permasalahan: nakalnya travel perjalanan haji dan umroh untuk dicabut segera perizinannya. Kelompok responsif ini datang dari barisan para wakil rektor Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN), institusi pendidikan tinggi di bawah naungan Kementerian Agama RI.

Bagi institusi pemerintah yang mengalami kasus seperti Arteria Dahlan, biasanya semakin menguatnya rasa kebersamaan aparatur dan elemen sebagaimana halnya dalam Kementerian Agama. Namun menguatnya rasa kebersamaan tersebut akan selalu dihadapi oleh sejumlah tantangan. Baik internal kelembagaan maupun dalam relasinya di tengah masyarakat.

Tantangan Negara Versus Golongan Masyarakat

Kembali pada hakikat negara dan bangsa. Baik aparatur negara sebagai pelaksana mandat rakyat di segala cabang kekuasaannya maupun rakyat sebagai pemberi mandat, sama-sama bekerja dalam koridor hak dan kewajiban masing-masing.

Gangguan serius polarisasi politik identitas golongan dan proxy politik menuntut kebijaksaan tiap unsur pimpinan negara dan pimpinan golongan masyarakat. Namun sejauh mengenai kebijaksaan unsur pimpinan negara, tantangannya tidak ringan, tapi mesti dilaksanakan agar tercipta kepercayaan dalam masyarakat. Bila diklusterkan, tantangan tersebut berpulang pada perwujudan good and clean governance.

Pada case Kementerian Agama RI, baik struktural maupun fungsional, aparatur pengawasan internal di dalamnya dengan semangat kebersamaan melalui fungsi pembinaan sejatinya menyampaikan hasil rekomendasi audit kepada Badan Litbang dan Diklat sebagai hipotesa awal sebuah penelitian dan pengembangan Kementerian Agama ke arah yang lebih baik.

Hasil penelitian kemudian dikoordinasikan dengan Sekretariat Jenderal (Sekjen) untuk perumusan pengembangan SDM Kementerian Agama sebagai landasan penerapan di tataran teknis. Pelaksana teknis yang diwakili tiap Direktorat, melaksanakan hasil koordinasi yang dilaksanakan Sekjen dengan Badan Litbang dan Diklat. Direktorat pun saling mendukung kinerja masing-masing.

Tentang penyuluh agama misalnya. Para penyuluh diberikan porsi pada sekolah-sekolah umum dalam memberikan penyuluhan sesuai agama masing-masing penganut. Dalam operasionalnya, tetap melaporkan secara berkala hasil pelaksanaan pada masing-masing pimpinan. Direktorat pelaksana fungsi pendidikan pun mengevaluasi output penyuluhan dan mengevaluasi pelaksanaan penyuluhan kepada Direktorat terkait. Lagi-lagi menyampaikan pula hasilnya untuk diteliti oleh Badan Litbang dan Diklat sebagai bahan evaluasi.

Siklus yang terus berjalan beriringan dan berdampingan ini, jika dijalankan dengan semangat kebersamaan, akan memudahkan Kementerian Agama mencerminkan dirinya yang utuh. Mencerminkan semangat "Ikhlas Beramal" yang menjadi roh kinerja Kementerian Agama.

Satu hal penting yang disorot: mengenai SIG dan faksi dalam K/L. Yang mesti dipahami: SIG di satu sisi menunjukan tingkat kepercayaan terhadap K/L meninggi. Dalam praktiknya, bagaimanapun K/L tentu berhadapan dengan dasar-dasar kehidupan politik sebagai urusan publik. Relasi negara dan SIG sebagai the art of possible, compromise, negotiation.

Namun di sisi lain, relasi tersebut tertuntut serius untuk dibentangkan dalam bingkai kepentingan nasional dan perisai kenegarawanan pimpinan negara. Kepercayaan publik terhadap integritas pelayan publik K/L juga tecermin dari sana. Tak terkecuali dalam menindaklanjut atau perbaikan pimpinan K/L terhadap penilaian BPK.

Pengukuran keberhasilan seluruh pelaksanaan tugas dan fungsi K/L diawasi secara internal oleh aparat pengawas internal serta diukur oleh lembaga penelitian dan pengembangan internal, ditambah BPK dan BPKP secara eksternal. Sudah sedemikian berlapis.

Dalam Kementerian Agama RI, kontribusinya terhadap keuangan negara cukup besar. Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) melalui pelayanan pelaksanaan nikah salah satu contoh. Pengelolaan keuangan haji untuk pembangunan Nasional melalui penerbitan Surat Berharga Syariah Nasional (SBSN) pun cukup besar, meski kontras dengan porsi anggaran negara terhadap pelaksanaan fungsi agama di Kementerian Agama RI.

Tantangan good governance dan segala kontribusi fungsinya serta keterbatasan di dalamnya, perlu dijawab melalui integrasi komunikasi untuk dikomunikasikan kepada publik. Integrasi ini yang kelak menjadi `penangkis` kritik asbun (asal bunyi) kelompok partisan politik elektoral sekaligus aktor politik praktis itu sendiri.

Sifat integrasi komunikasi itu tidak defensif atau menangkis penggalan `serangan` kritik asbun. Tapi berinisiatif mengkomunikasikan secara utuh pelbagai capaian sekaligus keterbatasan sumber dayanya secara komprehensif yang mudah dicerna masyarakat.

Integrasi komunikasi dalam operasinya merupakan konsepsi Press Agentry. Setiap pegawai di jajaran K/L, terlebih unit pemimpinnya, mengemban tanggung jawab bersama sebagai opinion maker yang bernilai kualitas informasi. Fungsi Humas tentu banyak pilihan dalam memilih multimedia channel dalam mengkomunikasikan pesan. Sebagaimana media relations: seperti media visit, FGD media; media gathering; publisitas (publik opini); penulis pendamping (ghose writer); social media management, dan sebagainya.

Namun apapun kanal multimedia yang digunakan, berpulang pada kualitas pesan. Tak mudah memformat kualitas pesan di tengah `limbah` informasi dan keterpecahan konsentrasi publik dalam alam politik elektoral. Ini menuntut pendekatan perspective making: nalarisasi persoalan dalam perspektif segmentasi golongan masyarakat itu sendiri.

Tambang data dari Badan Litbang dan Diklat berperan penting sebagai penyaji data objektif. Karena diolah berdasarkan hasil riset sebagai dasar pengambilan keputusan. Olahan aneka hasil riset itulah sebagai sumber konsumsi publik luas. Tak terkecuali sejauh mana proses perbaikan laporan merespon laporan BPK dan BPKP.

Sederhana dalam memaknai perspektif pesan yang hendak dibentuk. Bagaimana mengkomunikasikan kemajuan yang ada di satu bidang dengan narasi yang etis--berpegang pada objektivitas situasi internal dan eksternal--namun tenggelam karena tumpukan dinamika yang bergerak cepat.[Imufazaki/dod]

*Tulisan ini merupakan pandangan pribadi


Tags: