Muhammad Furqan MD (Alumni UIN Ar-Raniry Banda Aceh saat ini sedang menenpuh pendidikan di Magister Manajemen Dakwah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

Muhammad Furqan MD (Alumni UIN Ar-Raniry Banda Aceh saat ini sedang menenpuh pendidikan di Magister Manajemen Dakwah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

Aceh (Pendis)--Seiring dengan perkembangan zaman, dunia pendidikan sudah begitu kompleks dengan susunan komponen yang sangat beragam agar dapat menyesuaikan dengan era yang serba canggih sekarang ini, begitu juga dalam proses pembelajaran Al-Qur’an, sehingga pengembangan metode dengan prinsip percepatan pembiasaan menjadi keniscayaan untuk menciptakan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan masa kini. Selain itu metode pembelajaran Al-Qur’an adalah satu bagian dari hal penting dalam pelaksanaan pembelajaran dengan cara cepat.

Umat Islam kini menghadapi tantangan global dan universal, baik melalui internal Islam sendiri maupun tentang eksternal. Saat ini, Islam dikenal sebagai umat yang mengalami keterbelakangan di berbagai sektor termasuk dalam sektor pendidikan, politik dan ekonomi. Di lain hal, tantangan Islam di sektor eksternal selalu datang bertubi-tubi melalui tuduhan-tuduhan kepada dirinya seperti tuduhan terorisme, anti kemajuan, memusuhi wanita dan lain sebagainya.

Kehidupan beragama di Indonesia mendapatkan sorotan dari berbagai pihak, baik pihak yang berada dalam negeri seperti Lembaga Swadaya Masyarakat dan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan juga di luar negeri seperti pandangan ulama timur tengah dan Persatuan Bangsa-Bangsa dan lain sebagainya. Hak ini ditengarai oleh munculnya konflik sosial yang dilatar belakangi agama di tengah-tengah masyarakat. Di antara konflik sosial yang mewabah pada bangsa Indonesia adalah ekstremisme, hate speech, radikalisme, hingga retaknya hubungan toleransi antar umat beragama. Menjamurnya fenomena sosial ini harus segera dicarikan solusi, karena mengancam kerukunan hidup di Indonesia. Isu agama sangat sensitif dan bisa merusak hubungan sosial yang terjadi dalam masyarakat.

Arus keislaman di Indonesia akhir-akhir ini dipertegas dengan wujudnya moderasi beragama (wasathiyyah). Ide moderasi beragama ini sepertinya akan menjadi solusi untuk menjawab berbagai problematika keagamaan di kancah nasional dan peradaban global di level internasional. Jika kelompok radikalis dan ekstrimis berbicara tentang Islam dengan lantang dan kekerasan, maka Islam Moderat diharapkan bisa bisa juga berbicara dengan lantang dan bersifat damai untuk menjadi solusi atas problematika keberagamaan agama di Indonesia.

Penataan Pendidikan Keagamaan Islam di Indonesia dilakukan dengan menghadirkan pesantren dan madrasah diniyah sebagai pelopor kelembagaan Islam dengan konsep rahmatallil’alamin dengan pendekatan-pendekatan uswatun hasanah. Dua lembaga ini diharapkan oleh pemerintah untuk menjalankan pendidikan Islam kepada umat Islam agar umatnya benar-benar menghayati dan mengamalkan nilai-nilai Islam itu sendiri. Budaya di Pesantren dan Madrasah Diniyah yang mengedepankan nilai-nilai spiritualitas perlu juga dipraktikkan para santri di luar lingkungannya, seperti saat mereka menempuh studi di Perguruan Tinggi, atau mungkin saat berada di jalan raya, di pasar dan dimanapun berada dengan menggunakan akhlak mulia sebagai pakaiannya sehari-hari. Spiritual yang tinggi ini tidak bisa berjalan sebentar, akan tetapi memerlukan waktu yang lumayan banyak dan lingkungan memadai supaya karakter islami santri benar-benar menfosil pada dirinya.

Menurut KBBI arti kata dari Moderasi ialah pengurangan kekerasan, sedangkan secara istilah moderasi adalah pandangan hidup yang mengedepankan sikap toleran, berada di tengah diantara dua pemahaman yang berseberangan untuk tidak mendominasi sikap dan sifat yang diambil. Menurut Asrori Moderat akan mengutamakan kemashlahatan umat, daripada fanatik pada salah satu pemahaman. Dengan demikian moderasi akan bisa mengambil sifat tengah antara ultra-konservatif dan ekstrem liberal. Sejalan dengan argumentasi di atas, dalam hal ini Kementerian Agama memberikan empat indikator moderasi beragama, diantaranya (a) komitmen kebangsaan diwujudkan dengan mengutamakan NKRI, (b) toleransi terhadap sesama atau antar agama, (c) anti-kekerasan terhadap siapapun dan (d) akomodatif terhadap budaya lokal demi menjaga lestarinya budaya Indonesia. Keempat indikator ini digunakan sebagai tolok ukur keberhasilan moderasi beragama yang ada di Indonesia.

Dalam meningkatkan kualitas pengetahuan moderasi beragama di Indonesia, para santri dalam hal ini melakukan upaya yang strategi-strategi yang tepat guna. Strategi tersebut dilakukan melalui pendidikan formal ataupun resmi dalam pendidikan pesantren dan melalui kegiatan ekstrakulikurel. Strategi pertama dilakukan oleh santri dengan mempelajari nilai-nilai moderasi Islam dalam kegiatan pembelajaran, sementara strategi yang kedua dilakukan dengan berbagai kegiatan ekstrakurikuler sebagai pendukung upaya pemerintah dalam merealisasikan moderasi Islam yang baik.

Moderasi beragama sangatlah tepat diwujudkan di Indonesia yang terdiri dari masyarakat multikultur, multietnis, multiras dan golongan serta multireligius. Moderasi beragama ini diharapkan menjadi solusi atas problematika keagamaan dan peradaban global agar mengambil langkah yang kongkrit dan agresif. Nilai-nilai mulia yang ada dalam moderasi beragama diharapkan bisa menjadikan Indonesia menjadi negara yang damai umat beragama.

Sebagai bagian dari Indonesia itu sendiri, para santri harus senantiasa bersifat independent, normal dan al-tawassuth dengan tetap memperhatikan aqidah yang benar serta sifat teposeliro sehingga selalu mengedepankan akhlak mahmudah dalam berdakwah dan menjauhi akhlak madzmumah dalam berututur dan bersikap. Sikap moderat bisa dilihat dari sikap muslim yang mengimplementasikan aqidah mereka dengan kuat, tidak tergoyahkan oleh harta benda, dalam menghadapi perbedaan pendapat, ia bersikap tengah-tengah dengan mengedepankan ukhwah Islamiyah dan basyariyah, bersifat toleran terhadap sesama muslim maupun non muslim demi terwujudnya Islam rahmatan lil ‘alamin.

Lebih jauh dari itu, moderasi beragama haruslah menangkal isu-isu terkini seperti intoleran, radikal, esktrimisme dan terorisme. Moderasi beragama menekankan pada sikap keterbukaan terhadap perbedaan yang ada sebagai sunnatullah dan rahmat bagi manusia. Keterbukaan ini akan melahirkan sifat tidak mudah saling menyalahkan orang lain, dan mengedepankan sifat persaudaraan di seluruh dunia. Moderasi dalam Islam dikenal dengan nama wasathiyah. Dan ada tujuh karakteristik moderasi dalam Islam yaitu berasaskan ketuhanan, berlandaskan petunjuk kenabian, kompatibel dengan fitrah manusia, terhindar dari pertentangan, ajek dan konsisten, universal dan komprehensif, bijaksana dan seimbang.

Muhammad Furqan MD (Alumni UIN Ar-Raniry Banda Aceh saat ini sedang menenpuh pendidikan di Magister Manajemen Dakwah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)