Irfan Amalee, Kiai Milenial dan Pendidik Inspiratif
Oleh : Yusuf R Yanuri
Pagi amat dingin di Pegunungan Sumedang Utara, 50 kilometer dari Kota Bandung. Gerimis turun begitu tipis. Kanan kiri pepohonan tampak begitu basah, seperti belum ingin beranjak menyongsong matahari. Saya masuk ke tenda tempat makan dengan balutan jaket dan celana pendek. Sebenarnya sudah agak siang. Namun langit masih begitu murung. Setelah sesuap dua suap menikmati sajian makanan Sunda, ada pria paruh baya yang tiba-tiba menyapa.
Wajahnya teduh dan ramah. Mungkin berusia 40 tahunan. Perlu sejenak bagi saya untuk mencerna dan memahami bahwa ternyata orang yang menyapa saya tersebut adalah tokoh kiai milenial peraih Kick Andy Heroes tahun 2021.
Kang Irfan adalah sosok yang sederhana. Ia biasa menggunakan setelan baju koko dan peci atau setelan kaos dan topi. Ketika menggunakan baju koko dan peci, ditambah karena ia memanjangkan jenggot, ia terlihat seperti ustadz atau kiai yang memiliki kedalaman ilmu agama.
Faktanya memang demikian. Ia tumbuh di sebuah pesantren Muhammadiyah di Jawa Barat. Kemudian melanjutkan pendidikan di UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Lalu melanjutkan S2 di Amerika. Menariknya, Kang Irfan memilih jalur sebagai “kiai milenial” yang visi utamanya adalah menyebarkan Islam sebagai agama yang penuh welas asih.
Di saat sebagian orang menggunakan agama untuk menegasikan orang lain, ia datang membawa pesan agama sebagai bentuk kasih sayang terhadap semua makhluk.
Di sisi lain, ia sangat piawai dalam menyampaikan pesan-pesan milenial kepada anak-anak muda. Ketika menggunakan setelan kaos dan topi, ia lebih tampak sebagai pekerja kreatif. Berbagai training yang ia inisiasi adalah salah satu training terbaik di Indonesia. Berbagai pendekatan seperti game, sharing, dan cerita menjadi nyawa bagi ratusan training yang digelar oleh Peace Generation.
Ia tidak pernah menyampaikan materi seperti ceramah atau seminar. Tapi ia mengajak orang lain untuk merasakan dan menghayati nilai-nilai perdamaian melalui beragam cara.
Setelah sedikit berbasa-basi, Kang Irfan banyak bercerita tentang Peacesantren Welas Asih, sebuah lembaga pendidikan yang ia dirikan beberapa tahun silam.
Orang banyak mengenal Irfan Amalee sebagai trainer perdamaian. Namanya begitu lekat dengan Peace Generation yang kini telah berusia 13 tahun. Ribuan anak muda di seluruh Indonesia telah mengikuti berbagai training perdamaian yang diadakan oleh Peace Generation. Namun, barangkali tidak terlalu banyak orang yang mengenal Peacesantren Welas Asih.
Sebagaimana Peace Generation, Peacesantren Welas Asih juga didirikan oleh Irfan Amalee. Awalnya, Pesantren tersebut bernama Muhammadiyah Boarding School Baiturrahmah. Pada tahun 2019, MBS Baiturrahmah berubah nama menjadi Peacesantren Welas Asih. Irfan Amalee berperan sebagai direkturnya.
Kang Irfan, sebagai seorang yang penuh dengan inovasi dan kreativitas, tidak menjadikan pesantren yang ia asuh biasa saja layaknya pesantren yang lain. Ia menolak menjadi mainstream. Ikut dalam arus besar yang stagnan dan mandek.
Nama yang ia buat saja sudah unik. Peacesantren. Bukan pesantren. Nama itu setidaknya menunjukkan dua hal. Pertama, ia bukan seperti pesantren pada umumnya. Kedua, ia fokus pada pendidikan perdamaian.
Tak hanya pendidikan perdamaian, sebagai seorang kiai milenial, Kang Irfan juga mengajarkan santri-santrinya untuk mencintai alam. Peacesantren didesain dengan konsep ramah lingkungan dan permakultur. Permakultur adalah desain bangunan ekologis yang mengembangkan arsitektur berkelanjutan dan sistem pertanian swadaya berdasarkan ekosistem alam.
Saat itu Senin pagi. Semua santri tengah bersiap-siap memulai KBM. Namun, ada dua santri yang nampak sedikit kebingungan. Pelan-pelan mereka mendatangi Direktur Pondok, Kang Irfan. Rupanya, mereka ingin meminta izin agar dibolehkan tidak menggunakan seragam. Seragam mereka belum kering karena hujan terus turun.
Dalam kondisi seperti ini, biasanya seorang pendidik akan mengambil salah satu dari dua jalan pintas: memberi kelonggaran atau memberi hukuman. Memberi kelonggaran berarti tidak konsisten terhadap peraturan yang telah dibuat, yaitu mengikuti KBM dengan seragam. Selain itu, hal tersebut juga menjadi preseden bahwa peraturan boleh dilanggar. Sementara memberi hukuman juga tidak menjamin dapat memberikan efek jera kepada santri.
Di Peacesantren, Kang Irfan menerapkan prinsip yang disebut dengan transformative coaching. Salah satunya adalah bertanya menggunakan pertanyaan yang disebut curiosity question atau motivational question. Maksudnya, guru mencoba membantu anak untuk menemukan masalah dan solusinya tanpa ia merasa dihakimi. Curiosity question atau motivational question adalah kebalikan dari judgemental statement.
Judgemental statement adalah kalimat cercaan yang negatif. Seperti “Dasar tidak tertib!” atau “Banyak alasan!” Kalimat-kalimat tersebut justru akan mengafirmasi santri bahwa dirinya memang pemalas, sehingga dia justru akan menjadi semakin malas.
Dalam kasus di atas, Kang Irfan kemudian bertanya.
“Kenapa bajunya basah?”
Santri beralasan bahwa hujan membuat bajunya masih dalam kondisi basah.
“Kapan mencucinya?”
“Minggu.”
“Setiap hari apa seragam putih dipakai?”
“Senin dan Selasa.”
Lalu Kang Irfan menyusul dengan motivational question, “Apakah mungkin jika pakaian dicuci hari Rabu?” Mereka mengangguk.
Untuk menegaskan, ia kembali bertanya, “Jika pakaian dicuci hari Rabu, apakah pada hari Senin seragam sudah siap dipakai?” Mereka mengangguk lagi.
Kiai milenial itu memang membangun Peacesantren dengan begitu serius. Di Peacesantren Welas Asih, santri belajar berbasis proyek untuk memecahkan masalah kehidupan nyata (project/problem based learning), sebuah model pembelajaran yang belakangan menginspirasi Kemendikbud dan dijalankan di berbagai sekolah seluruh Indonesia.
Dengan metode Design For Change, santri belajar mengenali masalah (feel), menggagas solusi (imagine), mengeksekusi solusi (do), dan membagikan solusinya (share) kepada masyarakat.
Ada tiga budaya welas asih yang menjadi nilai utama di Peacesantren Welas Asih. Tiga budaya tersebut antara lain disiplin positif, hubungan reflektif, dan belajar efektif. Disiplin positif mengajarkan santri tiga hal. Pertama, merumuskan tujuan hidup dengan talent mapping & life planning. Kedua, menumbuhkan kedisiplinan tanpa ancaman hukuman. Ketiga, mendampingi anak dengan sistem coaching dan mentoring.
Hubungan reflektif mengajarkan santri tiga hal. Pertama, menerapkan pendidikan perdamaian dan anti bullying. Kedua, memberikan perhatian pada kesejahteraan mental (wellbeingness) dengan Social & Emotional Learning (SEL). Ketiga, kerjasama guru dan orangtua dengan Collaborative Parenting.
Sementara belajar efektif juga mengajarkan santri tiga hal. Pertama, mengemas metode belajar yang menyenangkan dengan Game Based Learning. Kedua, menggabungkan kurikulum nasional dengan keterampilan Abad 21. Ketiga, memfokuskan materi belajar pada praktik dan pemecahan masalah nyata kehidupan.
===========
Artikel ini diterbitkan dalam rangka Peringatan Hari Guru tanggal 25 November bertema “Berinovasi Mendidik Generasi” oleh Direktorat Guru dan Tenaga Kependidikan Madrasah Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI.
Bagikan: