Solo (Pendis) –Dalam rangka meneguhkan komitmen pemenuhan hak mendapatkan pendidikan bagi setiap peserta didik, Kemenag melakukan review pedoman pelaksanaan implementasi gender equlity dan sosial inklusif di madrasah 10 - 12 Maret 2022.
Direktur Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Muhammad Zain mengingatkan bahwa perumusan pedoman harus memperhatikan secara serius kepentingan disabilitas dan untuk menjawab kebutuhan kesetaraan jender, “hal ini untuk menjawab serta memenuhi kebutulan keseteraan jender juga,” kata Zain, di Solo, Akhir pekan kemarin.
Kasubdit Bina GTK MA/MAK Anis Masykur menguatkan bahwa, sebuah keniscayaan menghadirkan ahli untuk mencermati dua aspek penting tersebut. "kami hadirkan para pakar dalam proses Review tersebut," kata Anis menegaskan kembali.
Sebagaimana untuk diketahuin, Kemenag menghadirkan Ema Marhumah, Ro'fah, Daan Dini Khoirunida, dan lain sebagainya. Ema Marhumah sendiri adalah guru besar UIN Sunan Kalijaga yang juga aktivis jender. Sedangkan Ro'fah adalah aktivis pembela kalangan disabilitas. Ro'fah juga ketua unit disabilitas pertama kali di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sedangkan Daan Dini adalah aktivis Rahima, sebuah LSM di Jakarta yang komitmen terhadap pemenuhan gender equility di berbagai lini.
Selanjutnya, Anis menjelaskan bahwa forum pertemuan tersebut menyepakati bahwa pedoman penguatan lembaga pendidikan yang gender equility dan ramah disabilitas mutlak dibutuhkan dan harus diperbaiki, "pemahaman terhadap pentingnya ramah disabilitas ini harus dipahami para pemangku kebijakan dan juga pimpinan pada satuan pendidikan." Jelasnya lebih lanjut.
Mantan Sekretaris PSW IAIN Samarinda (UIN Samarinda-red) ini juga memandang, bahwa dengan dua aspek tadi, masih terlihat adanya beberap kelemahan lembaga, “sekali lagi, forum menyepakati bahwa pedoman yang semula hanya dalam bentuk 1 modul dikembangkan menjadi beberapa modul yang menyasar kepala satuan pendidikan, pendidik dan pemangku kebijakan,” terang Anis.
Sedangkan Imam Bukhori, Pokja Inklusi Ditjen Pendidikan Islam menegaskan bahwa jumlah siswa disabilitas pada madrasah cukup besar, sebanyak 43.327 siswa. Padahal, jumlah madrasah yang ditetapkan sebagai madrasah saat ini baru 146 madrasah yang tersebar di jenjang RA sebanyak 29 lembaga, jenjang MI sebanyak 88, jenjang MTs sebanyak 24, dan jenjang MA sebanyak 5. Sementara di perguruan tinggi keagamaan Islam belum ada yang ditetapkan, “meskipun, beberapa PTKI telah menerima mahasiswa disabilitas,” kata Imam yang juga ekspertise kurikulum pendidikan Islam.
Imam menjelaskan bahwa hal terpenting jika pedoman didesain selain menjangkau pendidikan dasar dan menengah, juga menjangkau pendidikan tinggi. Sehingga kalangan disabilitas tidak kebingungan memilih perguruan tinggi jika hendak lanjut studi.
Sekedar informasi, forum review ini dihadiri oleh para guru yang tergabung dalam Forum Penyelenggara Madrasah Inklusif (FPMI), aktivis jender, aktivis Pendidikan inklusif, dan semua pejabat di lingkungan Direktorat Guru dan Tenaga Kependidikan. (N15).
Bagikan: