Jakarta (Kemenag) — Menteri Pendidikan Nasional Indonesia 2009-2014, Muhammad Nuh, menegaskan bahwa Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) yang sedang disusun oleh Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama berpotensi menjadi fondasi kuat bagi terwujudnya peradaban unggul di masa depan.
Hal itu disampaikan Prof. Nuh saat menjadi narasumber dalam Uji Publik Nasional Kurikulum Berbasis Cinta, Selasa (15/4/2025) di Jakarta. Menurutnya, pendidikan tidak cukup hanya mengajarkan pengetahuan masa lalu dan masa kini, tetapi juga harus mempersiapkan masa depan.
“Kurikulum berbasis cinta bukan sekadar program, tetapi gerakan besar yang akan melahirkan manusia berkarakter, haus ilmu, dan siap menghadapi tantangan era digital,” tegas Nuh.
Pendidikan Bukan Sekadar Transfer Ilmu
Dalam pandangan Prof. Nuh, kurikulum yang baik tidak cukup hanya berbasis pada standar isi dan materi, tetapi juga harus menggugah dimensi kemanusiaan dan spiritualitas peserta didik.
Ia menyinggung pentingnya menumbuhkan cinta dan rasa penasaran terhadap ilmu sebagai kekuatan utama dalam pendidikan, sebagaimana dicontohkan dalam kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir.
“Dalam kisah itu, Nabi Musa menunjukkan semangat belajar yang luar biasa: melepaskan status, mencari guru dengan ikhtiar, dan mengikuti proses pembelajaran yang mengasah wisdom, bukan sekadar logika,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa kita sedang mengalami defisit dalam aspek wisdom, sementara itu justru menjadi elemen penting dalam pendidikan abad 21.
Keseimbangan Karakter dan Akademik
Lebih jauh, Prof. Nuh menekankan pentingnya keseimbangan antara pendidikan karakter dan akademik, apalagi dalam konteks masyarakat digital saat ini. Menurutnya, generasi saat ini adalah digital native yang hidup dalam budaya digital, sehingga pendekatan pembelajaran juga harus adaptif.
“Perlu perpaduan antara Digital Quotient, Personality Quotient (IQ, EQ, SQ), Indonesia Quotient, dan Islamic Quotient, agar kita melahirkan generasi yang utuh dan berdaya saing,” ungkapnya.
Kurikulum Bukan Hanya Produk Akademik
Prof. Nuh juga mengingatkan bahwa kurikulum bukan semata produk akademik, tetapi juga merupakan kebijakan strategis nasional yang harus mempertimbangkan aspek implementasi, dampak, dan keberlanjutan.
“Delapan standar nasional pendidikan harus saling terhubung dan tidak bisa berdiri sendiri. Mulai dari standar isi, proses, hingga penilaian, semua harus berorientasi pada tumbuhnya manusia yang utuh,” katanya.
Kurikulum Berbasis Cinta, lanjut Nuh, adalah salah satu jawaban atas tantangan besar pendidikan: bagaimana mendidik anak-anak digital native dengan pendekatan yang menyentuh hati, bukan sekadar kognitif.
Bagikan: