Tangerang (Pendis) – Hal tersebut dikatakan oleh Bahrul Hayat, Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dalam acara diskusi yang digelar oleh Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren bertajuk Urgensi Pendidikan Kesetaraan pada Pondok Pesantren Salafiyah sebagai satuan pendidikan penuntas program wajar dikdas di Kementerian Agama pasca terbitnya UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren.
"Selama anda berijtihad untuk kebaikan umat dan tidak korupsi, silahkan jalankan“ ujar Doktor alumni Universitas Chicago Amerika ini.
Selanjutnya beliau menjelaskan bahwa Pendidikan Islam dari dulu memang telah diakui, tetapi belum mendapatkan perlakuan secara baik, maka sejarah tercipta setelah keluarnya UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dimana beliau menjadi salah satu punggawanya (Saat itu beliau masih menjadi Pejabat di Kemdikbud). Dan mulai saat itu Pendidikan Islam bukan hanya diakui, di-recognisi, tapi juga kedudukannya sama dengan pendidikan yang ada di Kemdikbud.
“Dimana pertama kali penulisan SD -garis miring- MI (SD/MI), SMP -garis miring- MTs (SMP/MTs) dan SMA -garis miring- MA (SMA/MA). Itulah namanya setara regulasi, jangan ada diskriminasi terhadap Pendidikan Islam“. cetus lulusan MI dan MTs tersebut dengan bangga.
Kemudian setelah menjadi Sekjen Kemenag, Bahrul berjuang untuk mendapatkan 2 setara yang lainnya yaitu : Setara Program dan Setara Anggaran. Dan itu terbukti selama 8 tahun menjabat, anggaran Kemenag berkembang dari 9 Trilyun menjadi 60 Trilyun.
Pendidikan Kesetaraan juga menjadi concern, setelah melihat bahwa banyak lulusan SD/MI tidak melanjutkan ke sekolah formal, tetapi memilih melanjutkan menimba ilmu ke Pondok Pesantren. Oleh karena itu dibuatlah program pendidikan kesetaraan agar lulusannya dapat setara dengan pendidikan formal lainnya.
Perbedaan mendasar antara Pendidikan Kesetaraan dengan Program Kejar Paket dari Kemdikbud adalah, siswa kesetaraan telah berada pada sistem pendidikan, bentuknya non formal yaitu pesantren, tetapi belum ada kurikulum yang bisa disetarakan. Maka ijtihadnya adalah menambahkan pelajaran umum, agar bisa disetarakan dengan sekolah formal lainnya. Sedangkan program paket (A/B/C), siswa-nya belum berada pada sistem pendidikan manapun dan tanpa melihat kelompok usia.
Direktur PD Pontren, Waryono, dalam pembukaan acara yang dihadiri oleh seluruh Kasubdit Dit.PD Pontren, para Kasi pada Subdit Kesetaraan, perwakilan FKPPS, Kemenko PMK, pengelola Pendidikan Islam lainnya, menyampaikan bahwa diskusi ini dimaksudkan untuk memberi masukan kepada Direktorat dalam rangka finalisasi penyusunan draft Perpres dan RPMA sebagai amanah turunan UU Pesantren, sekaligus juga dalam rangka memperbaiki Renstra Pendis khususnya Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren.
“Pilih peserta yang kontributif untuk memberi penguatan kepada Direktorat, yang bisa memperkaya 3 fungsi pesantren, yaitu : fungsi pendidikan, fungsi dakwah dan fungsi pemberdayaan masyarakat”. Ungkap mantan Warek UIN Sunan Kalijaga, Selasa malam (11/8) di Hotel Golden Tulip Essential Tangerang .
Hal itu diamini oleh Kasubdit Pendidikan Kesetaraan, Rahmawati, dengan mengundang para pegiat Pendidikan Islam sebagai Narasumber, antara lain : Dr. Mukhlis Hanafi (Lajnah Pentahshih Al-Qur’an), Dr. Nuruddin (Balitbang), Kyai Nurdin Abdulqohar (Pesantren Ad-Dakwah Cibadak), Dr. Marzuki Wahid (IAIN Cirebon) serta Rafili M. Hilman (Kemenko Perekonomian).
“Semoga diskusi ini dapat memberikan manfaat, sebagai gambaran arah pendidikan kesetaraan ke depan, pasca terbitnya UU Pesantren”. Pungkasnya. (RFA)
Bagikan: