Bandung (Pendis) - Mengoptimalkan peran negara untuk memfasilitasi seluruh kepentingan umat melalui berbagai regulasi dengan undang-undang adalah bagian ijtihad saya sebagai birokrat; Termasuk peran sertanya melahirkan (UUSPN) Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20/2003, sebagai upaya mengintegrasikan pendidikan Indonesia sebagai satu sistem.
Hal ini disampaikan Bahrul Hayat, Mantan Sekretaris Jenderal Kementerian Agama saat menyampaikan materi Workshop Penguatan Kelembagaan Pendidikan Diniyah/Pendidikan Keagamaan di Bandung, Kamis (25/04).
Selama ini kita mempunyai problem pendidikan yang dikotomi dan itu berpengaruh pada Pendidikan Islam. Menurut Bahrul, problem dikotomi pendidikan muncul sejak zaman Kolonial Belanda, yaitu pemisahan antara urusan agama dan kenegaraan, antara pendidikan agama dan pendidikan umum. Ini persoalan hubungan antara politik negara dengan agama. Dijelaskan oleh Bahrul, Periode Pemerintahan masa Orde Baru hubungan antara agama dan negara kurang menggembirakan, sehingga berpengaruh pada kondisi pendidikan Islam di Indonesia. Namun berkat umat sangat kuat untuk bergerak melakukan perubahan, tidak heran jika kita lihat pondok pesantren, madrasah dan pendidikan keagamaan Islam kini berhasil melahirkan orang-orang hebat.
"Pada masa Orde Baru membicarakan "agama" dimuka publik merupakan sesuatu yang luar biasa", tegas Bahrul.
Perubahan yang dimaksud oleh Bahrul Hayat adalah dengan lahirnya Undang-Undang Sistem Pendidkan Nasional Nomor 20 Tahun 2003. Kita mulai memikirkan sistem pendidikan dari seluruh lembaga pendidikan di Indonesia, yaitu menyatu rumahkan pendidikan dalam satu kesatuan, antara pendidikan agama dan umum, dan ini hanya ada di Indonesia.
UUSPN menurut Bahrul adalah upaya mendudukan penyatuan rumah pendidikan dalam sistem pendidikan nasional. Walaupun menterinya tidak harus satu tapi sistem pendidikannya satu. Bagi saya: "ini merupakan perubahan yang radikal dan sangat strategis terutama mengakomodasi pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional".
Anugerah yang dirasakan oleh Bahrul adalah kita berhasil menempatkan Pendidikan Agama dan Keagamaan menjadi tiga bentuk dalam UUSPN: Pertama, Pendidikan Umum TK-SMU dan Pendidikan Umum Berciri Khas Islam dari RA-MA; Kedua, Pendidikan Keagamaan juga diakui dalam undang-undang. Keberhasilan pada titik kedua dimana UU menempatkan pendidikan keagamaan pada posisi yang tepat; Ketiga, Sistem Pendidikan Agama. Juga menjadi kekhasan Indonesia. Pendidikan Agama menjadi pelajaran wajib, dari SD-SMA dan salah satu point yang paling krusial adalah semua satuan pendidikan harus mengajarkan Pendidikan Agama dan harus diajarkan oleh guru yang seagama.
Selama menjabat sebagai Sekjen di Kementerian Agama, Bahrul melakukan 3 langkah kesetaraan dalam mengelola pendidikan Islam yaitu kesetaraan dari regulasi dan kebijakan, kesetaraan dari program dan kegiatan dan kesetaraan pendanaan pendidikan.
Dalam konteks regulasi Pendidikan Keagamaan Islam, Bahrul Hayat berpendapat, "regulasi harus berprinsip pada tiga hal: Pertama, regulasi jangan sampai mematikan dan membunuh perkembangan pendidikan Islam. Jangan sampai begitu regulasi kita kuatkan malah mematikan pendidikan Islam; Kedua, Memberikan keleluasaan atas hal-hal positif (kekhasan) yang selama ini dimiliki oleh pondok pesantren dan lembaga keagamaan Islam lainnya; Ketiga, Membuat strategi apabila dibuka sistem ini memungkin semua peseta didik bisa keluar masuk antar sub sistem (entri-exit)".
"Peraturan Menteri Agama tentang Pendidikan Keagamaan Islam harus membuka sistem agar alumni pendidikan Diniyah Formal bisa keluar masuk kemanapun" lanjut Bahrul.
Menanggapi regulasi di bidang Mu`adalah Pondok Pesantren, Bahrul mengatakan, semakin mudah dan gampamng entri-exitnya maka wilayah Mu`adalah semakin luas. Jangan sampai ingin kewenangannya luas tetapi ingin sebas-bebasnya. Maka harus segera dibikin standar pendidikannya dan itu teman-teman yang membuatnya.
Mantan Sekjen Kemenag itu menambahkan bahwa dalam hal standar pendidikan Mu`adalah bisa menggunakan kewenangan dalam Pasal 93 PP. 19/2005 yaitu boleh membuat standarnya sendiri (standar khusus), tidak perlu menggunakan standar sekolah/madrasah formal. "teman-temanlah yang berhak merumuskan sendiri standar itu dan BSNP tinggal memfasilitasinya",tandas Bahrul."
Sementara itu Ahmad Zayadi, Kasubdit Pendidikan Diniyah, ditempat yang sama berharap agar Pak Bahrul Hayat tetap berkenan dan memberikan bimbingan dan support agar perjuangan melahirkan PMA Pendidikan Keagamaan Islam dan PMA Mu`dalah Pesantren dapat lancar.
"Ibarat Penjahit, Pak Bahrul Hayat ini sebagai penjahitnya dalam kedua regulasi tersebut, maka mengerti mana yang harus dilonggarkan dan mana yang harus disempitkan", tambah Zayadi.
(RB/ra).Bagikan: