Jakarta (Pendis) - Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren (PD-Pontren), Mohsen, menyambut baik rencana penelitian terkait "Integrasi Pembelajaran Madrasah Diniyah Takmiliyah pada Sekolah" yang akan diselenggarakan oleh Balai Penelitian Agama dan Keagamaan DKI Jakarta. "Kami menyambut baik rencana penelitian ini terutama untuk mendorong perluasan akses penyelenggaraan Madrasah Diniyah Takmiliyah (MDT). Secara akumulatif MDT saat ini baru menjangkau hanya 13,46% dari seluruh populasi siswa di sekolah. Berdasarkan data EMIS, jumlah MDT saat ini berjumlah 76.566 lembaga yang secara mayoritas penyelenggaraannya berlangsung di masyarakat, seperti masjid, mushalla, gedung sendiri, dan pesantren. Dari lembaga MDT yang ada, jumlah santri MDT sebanyak 6.000.062 orang, padahal populasi jumlah siswa pada sekolah berjumlah 44.559.915 orang. Artinya, masih ada sekitar 86,54% atau 38.559.853 siswa yang belum mendapat layanan MDT," demikian papar Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren dalam acara Seminar Pra-Penelitian Integrasi Pembelajaran Madrasah Diniyah Takmiliyah pada Sekolah, Jum`at (27/01/2017) bertempat di Wisma Jalan Jaksa Jakarta Pusat. Seminar ini diselenggarakan oleh Balai Penelitian Agama dan Keagamaan DKI Jakarta dan dihadiri oleh pejabat dan peneliti di lingkungan Balai Penelitian, unsur Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren, penyelenggara MDT dan Pendidikan Al Quran dan sejumlah kepala sekolah.
Menurut Mohsen, yang juga pernah menjabat sebagai Kepala Kanwil Kemenag Propinsi Sulawesi Tengah, setidaknya ada 4 (empat) alasan mengapa penelitian ini perlu didukung. Pertama, sesuai PP 55/2007 dan PMA 13/2014, MDT itu untuk melengkapi layanan Pendidikan Agama Islam (PAI) pada sekolah. Kedua, kurangnya layanan PAI berimplikasi atas terjadinya perilaku asusila dan terpengaruh pemahaman dan gerakan radikal di kalangan siswa di sekolah. Ketiga, 76.566 lembaga MDT itu berlangsung di masyarakat dan hanya menjangkau 13,46% dari 44.559.915 siswa sekolah. Keempat, sejumlah Pemda saat ini telah menetapkan Kebijakan Wajib Belajar MDT. "Kementerian Agama RI menyambut baik lahirnya sejumlah Perda Wajib Belajar MDT yang dirintis oleh Pemerintah Daerah, baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota. Di samping untuk membenahi kualitas masyarakat daerahnya, Perda itu juga memberikan penguatan serta kontribusinya atas layanan jenis pendidikan keagamaan Islam. Untuk itu, Kementerian Agama berfikir untuk melakukan sejumlah sinergi dan kebijakan inovatif," papar Mohsen lebih lanjut .
Sehubungan dengan itu, sejumlah kebijakan Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren yang sedang dan akan ditempuh adalah sebagai berikut. Pertama, dilakukan perluasan akses MDT yang terintegrasi dengan layanan sekolah (SD/SMP/SMA). Perluasan akses ini terutama untuk menjangkan populasi siswa sekolah yang belum mengikuti MDT, sebesar 86,54% atau 38.559.853 siswa. Setelah mengikuti kegiatan belajar di sekolah, siswa diharapkan mengikuti layanan MDT yang lembaga MDT-nya memang di sekolah itu sendiri, sehingga siswa tetap terus belajar. Kedua, akan dilakukan penyusunan kurikulum bagi MDT di sekolah, mulai jenjang ula, wustha, dan ulya. Kurikulum MDT didesain untuk memperkuat pemahaman keagamaan Islam yang damai, toleran, dan moderat, di samping basis kultur dan budaya keindonesiaan. Intinya, kurikulum yang mengintegrasikan antara Islam dan keindonesiaan. Ketiga, guru yang mengajar di MDT pada sekolah dipastikan memiliki pengetahuan agama Islam yang baik dan disarankan pernah belajar pada pondok pesantren. Keempat, melakukan sinergi antara Kementerian/Lembaga yang terkait, di antaranya Kementerian Agama, Kemdikbud, dan Kemdagri.
Menurut pria kelahiran Palu, 6 Maret 1965, kebijakan-kebijakan itu memiliki manfaat yang sangat strategis, yakni adanya peningkatan sinergi antara Kemenag, Kemendikbud, dan Kemendagri, termasuk Pemerintah Daerah dalam memberikan pelayanan yang maksimal terhadap MDT, perluasan akses MDT secara lebih massif, siswa yang sekaligus sebagai masyarakat daerah mendapatkan pengetahuan agama yang lebih baik sehingga tidak mudah terperangkap pada pemikiran dan gerakan keagamaan radikal, dan diharapkan adanya pengakuan beban mengajar di MDT untuk memenuhi kewajiban mengajar di sekolah.
Namun demikian, menurut Mohsen, rencana kebijakan ini perlu dipahami dengan baik sehingga tidak menimbulkan resistensi, terutama dari pengelola MDT, Sekolah Islam Terpadu, dan Pemda yang menerapkan belajar 5 (lima) hari. MDT di sekolah didesain sedemikian rupa sehingga tidak mematikan MDT yang telah ada. Sebab, pada dasarnya rencana kegiatan ini untuk mendekatkan layanan MDT kepada siswa sekolah yang belum mengikuti MDT. (swd/dod)
Bagikan: