Bogor (Pendis) - Kitab kuning yang dipelajari para santri di pesantren secara tidak langsung telah membentuk karakter dan budaya santri. Demikian dikatakan Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren (PD Pontren) pada Workshop Metodologi Qiroatil Kutub pada Pondok Pesantren di Bogor (02/10/19).
"Kitab kuning di pondok pesantren tidak hanya menjadi referensi akademik para santri, tetapi secara tidak langsung telah membentuk kepribadian santri. Melalui telaah yang mereka lakukan itulah, lalu para santri mempraktekannya dalam perilaku sehari-hari. Dan itulah yang lalu menjadi karakter," terangnya.
Karena itu, lanjutnya, tidak heran jika kitab kuning di pesantren lalu diposisikan sebagai sesuatu yang "sakral". "Kitab kuning itu sesungguhnya bukan sekedar naskah akademik belaka, tapi sesuatu yang sakral karena ditulis oleh ulama yang memiliki tradisi akademik bagus, juga dengan riyadhoh yang luar biasa," tambahnya.
"Maka tidak heran kalau para santri yang sedang mempelajari kitab kuning di pondok pesantren juga melakukan banyak riyadhoh, melakukan puasa, sholat malam, dan amalan lainnya," yakinnya.
Zayadi bercerita, istilah kitab kuning pada awalnya diungkapkan oleh orang-orang luar pesantren untuk menstigma pesantren sebagai lembaga yang tertinggal karena menggunakan referensi yang kuno dan tertinggal. "Pada awalnya, istilah kitab kuning itu sengaja disematkan untuk memposisikan pesantren sebagai lembaga yang tidak modern karena menggunakan referensi kuno. Harapannya tentu perspektif publik tentang pesantren menjadi negatif," terangnya.
Alih-alih terdiskreditkan, pondok pesantren menurutnya bahkan berhasil membalikkan stigma negatif itu. "Justru kitab kuning yang dijadikan referensi utama para santri dalam belajar mampu dielaborasi para santri menjadi khazanah yang sangat kaya ilmu pengetahuan, khas, dan unik." tegasnya.
Karena itu Zayadi meminta agar kitab kuning yang menjadi khazanah dan kekhasan pesantren ini harus dinomorsatukan."Kita harus bangga, jika pendidikan umum mengembangkan konsep pembelajaran tuntas, atau mastery learning, maka itu sudah dilakukan di pesantren sejak ratusan tahun yang lalu. Santri belajar bukan berdasarkan diktat yang dirangkum dari banyak sumber, tapi belajar berdasarkan kitab kuning yang berjenjang," tambahnya.
Acara ini diikuti para ustadz dan ustadzah perwakilan dari pondok pesantren perwakilan dari 34 provinsi di Indonesia, berlangsung dari 2 hingga 4 Oktober 2019. [beta]
Bagikan: