Kudus (Pendis) - Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren telah menyelenggarakan Halaqah Pimpinan Pondok Pesantren yang merupakan rangkaian kegiatan Musabaqah Qira`atil Kutub (MQK) Tingkat Nasional ke-6 Tahun 2017. Kegiatan ini diselenggarakan di Hotel Griptha Kudus, 2 Desember 2017 dan dihadiri oleh sejumlah pimpinan pondok pesantren, unsur Kementerian Agama RI, baik di tingkat pusat, wilayah maupun daerah.
Ada beberapa isu yang diangkat dalam kegiatan tersebut, di antaranya adalah kebijakan pengembangan pendidikan diniyah dan pondok pesantren, standarisasi kitab kuning, implementasi anggaran pendidikan pada pemerintah daerah, dan rancangan Undang-Undang Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren.
Pada aspek kebijakan, Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesanten, Ahmad Zayadi, menegaskan bahwa pondok pesantren merupakan entitas pendidikan keagamaan Islam yang secara genuin tumbuh dari rahim Indonesia. Pesantren telah berperan dalam mengokohkan keindonesiaan. Jika awalnya pesantren merupakan lembaga dakwah, maka dalam perkembangannya kemudian kini berperan sebagai lembaga pendidikan. Oleh karena statusnya sebagai lembaga pendidikan, pesantren patut didorong menjadi lembaga pendidikan unggulan yang perlu mendapatkan langkah kebijakan regulasi, afirmasi kebijakan, maupun anggaran yang menunjukkan keadilan.
Untuk menggali kebijakan standarisasi kitab kuning, telah dipaparkan Peraturan Gubernur Nomor 47 Tahun 2010 tentang Pendidikan Dayah Aceh, yang mengatur tentang tingkatan (marhalah) kitab kuning sesuai dengan jenjangnya masing-masing. Peraturan Gubernur ini mengafirmasi kitab kuning yang selama ini diajarkan di pondok pesantren, yang tentunya mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan dan kasih sayang antar sesama.
Di sesi lain, terungkap sejumlah fakta bahwa beban kerja Kementerian Agama yang demikian besar ternyata tidak diimbangi dengan anggaran yang cukup. Direktorat Jenderal Pendidikan Islam memiliki tanggung jawab untuk menangani pembinaan pendidikan agama dan pendidikan keagamaan, seperti madrasah, perguruan tinggi keagamaan Islam, pendidikan agama Islam pada sekolah dan perguruan tinggi umum, hingga pendidikan diniyah dan pondok pesantren; mulai dari pusat hingga 34 provinsi dan semua daerah. Belum lagi untuk menangani lembaga pendidikan agama dan pendidikan keagamaan di luar Islam. Sementara itu, alokasi anggaran yang diterima oleh Kementerian Agama tidak lebih dari sekitar 11-12% dari seluruh alokasi anggaran pendidikan.
Jika dibandingkan, jumlah santri yang mengikuti layanan pendidikan pondok pesantren, pendidikan madrasah diniyah takmiliyah, pendidikan kesetaraan, pendidikan Alquran setidaknya ada 18,408,328 santri. Siswa pada layanan jenis pendidikan umum berciri khas Islam (madrasah) berjumlah 18,408,328. Jumlah ini belum menghitung jumlah mahasiswa dan mahasantri yang mengikuti layanan pendidikan tinggi keagamaan Islam, serta beban kerja untuk pendidikan agama Islama di sekolah. Sementara itu, jumlah siswa di sekolah mulai PAUD hingga jenjang pendidikan menengah sebanyak 49,025,696. Artinya, jumlah peserta didik yang mengikuti di layanan pendidikan Islam itu separuh lebih dari jumlah peserta didik di sekolah.
Akan tetapi, jika melihat dari alokasi anggaran fungsi pendidikan yang berjumlah 2.080,5 T, untuk layanan pendidkan Islam pusat dan daerah hanya 50,4 T (12,1%) sedangkan untuk layanan pendidikan sekolah pusat dan daerah sebanyak 308,2 T (74,1%). Alokasi anggaran demikian dinilai oleh forum kurang mencerminkan keadilan yang sesungguhnya.
Diakui, terdapat sejumlah regulasi yang perlu untuk segera direvisi, di antaranya adalah UU Nomor 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat Daerah yang beriplikasi alokasi untuk Pemerintah Daerah sekitar 268,4 T (64,5%), UU Nomor 14/2005 tentang Guru dan Dosen yang mendefinisikan guru hanya pada lembaga pendidikan jalur formal. Di samping itu, rezim APK (Angka Partisipasi Kasar) pendidikan dipandang tidak menguntungkan bagi layanan pendidikan keagamaan.
Untuk itu, halaqah pimpinan pondok pesantren mendesak agar Pemerintah Daerah patut mengalokasikan anggaran untuk layanan pendidikan diniyah dan pondok pesantren. Sebab, Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2007 mengamanahkan bahwa Pemerintah Daerah dapat membiayai penyelenggaraan pendidikan agama dan pendidikan keagamaan.
Di sisi lain, Rancangan Undang-Undang Lembaga Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren kini telah menjadi tagihan Prolegnas tahun 2018. RUU ini merupakan lex specialis dari UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dengan kelahiran UU ini, diharapkan dapat memberikan afirmasi dan kehadiran negara secara signifikan untuk pondok pesantren.
Forum ini juga merekomendasikan bahwa Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter menjadi kunci masuk untuk layanan pendidikan diniyah dan pondok pesantren secar lebih luas. Peraturan Presiden ini menjadi bagian dari landasan pentingnya melahirkan RUU Lembaga Pendidikan Keagamaan. (Swd/dod)
Bagikan: