Bandung (Pendis) --- Wajah agama akan bergantung kepada pemiliknya, hal ini karena masing-masing pemeluk agama memiliki pemahaman dan kedalaman agama yang berbeda. Demikian disampaikan Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren, Waryono saat memberikan pembekalan Moderasi Beragama kepada para mahasantri PBSB (Program Beasiswa Santri Berprestasi) di Bandung (16/9).
Dikatakan Waryono, pemeluk agama memiliki hak menampilkan wajah keberagamaannya berdasarkan pemahamannya. "Wajah agama sangat bergantung dari pemeluknya, bergantung dari pengetahuan agamanya, akan toleran ataukah ekstrem," katanya.
Waryono mencontohkan, bahwa sekarang ini banyak perilaku kekerasan yang mengatasnamakan agama, yang akhirnya membuat 'wajah' agama kurang baik. "Ini sebenarnya masalah stigma. Memang ada satu dua yang melakukan teror atas nama agama, tapi itu hanya satu dua, tidak banyak. Tapi itu kemudian membuat wajah agama distigmakan seperti yang mereka lakukan," terangnya.
Karenanya Waryono meminta para mahasantri PBSB agar mau belajar agama dengan sungguh-sungguh dan bisa mengalahkan egoismenya. "Sebagai mahasantri, Anda harus bisa berperan lebih aktif. Anda yang sebagai santri dimanapun berada harus menjalankan praktik beragama yang tasamuh, toleran, dan tidak tatorruf, tidak ekstrim," pintanya.
Saat ini terkadang muncul perilaku tatorruf yang stigmatik, misalnya celana cingkrang dan cadar itu identik dengan perilaku intoleran. Menyikapi hal ini, Waryono meminta agar para mahasantri tak henti-hentinya belajar agama secara mendalam. Karena hanya dengan pengetahuan yang mendalam dan benarlah kita bisa menampilkan wajah agama yang sejuk.
"Kita memang sering terjebak dalam perdebatan soal pakaian. Padahal pakaian itu soal budaya, bukan soal agama. Yang menjadi persoalan agama itu menutup auratnya, bukan jenis atau model pakaiannya," terangnya.
"Penting diketahui, eksklusifiame itu bukan hanya ada dalam agama, tapi juga dalam budaya," imbuhnya.
Dengan mengutip Ibnu Taimiyah, Waryono meminta agar para mahasantri PBSB tidak memaknai kebebasan beragama dengan kebebasan semaunya. "Kebebasan kita dibatasi oleh kebebasan orang lain. Jadi kita tidak bisa bebas semaunya, karena ada orang lain di luar kita," katanya.
Mahasanti PBSB, lanjut Wayono, bisa menjadi pribadi-pribadi yang baik dalam mengamalkan ajaran agama. Pola-pola komunikasi dalam al-Quran menurutnya, bisa dipelajari lebih dalam oleh para mahasantri PBSB.
"Dalam al-Quran banyak dipakai cara komunikasi yang luar biasa, seperti qoulan baliigha, qoulan kariima, qoulan syadiida, dan lainnya," pungkasnya.
Acara diikuti 20 mahasantri perwakilan dari perguruan tinggi mitra Kementerian Agama. Selain Ma'rifah, juga menghadirkan guru besar UIN Bandung, Ulfiah.
(Beta/MY)
Bagikan: