Tangerang (Pendis) - Isu radikalisme masuk kampus terus bergulir. Berbagai kajian dan survei menunjukkan adanya gejala tersebut. Berbagai kalangan juga menyoroti bahwa radikalisme di perguruan tinggi sudah menjadi ancaman serius.
Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) UIN Jakarta pada tahun 2010/2011 menemukan bahwa terungkap 50% pelajar setuju dengan tindakan kekerasan berdasarkan radikalisme. Pada tahun 2016, BNPT memaparkan bahwa 26.7 pemuda setuju dengan jihad menggunakan kekerasan. Sedangkan di tahun 2017 BNPT mengungkapkan bahwa 39 mahasiswa tertarik masuk ke organisasi yang ingin mengganti ideologi negara.
Temuan senada diperoleh Alvara Research Center yang menyatakan 23,4 % mahasiswa setuju berjihad untuk tegakkan negara Islam/khilafah (mengganti ideologi negara). Hal demikian menjadi perhatian serius, terutama Kementerian Agama yang mempunyai tugas mencegah benih-benih paham radikalisme di dunia pendidikan.
Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren (PD-Pontren) Ahmad Zayadi di hadapan Asosiasi Dosen Pendidikan Agama Islam Indonesia (ADPISI) menyampaikan bahwa tantangan yang dihadapi dosen Pendidikan Agama Islam (PAI) adalah membentuk pemahaman mahasiswa dalam beragama yang benar.
"Tantangan hari ini yaitu tamatan setiap jenjang pendidikan harus mampu menghasilkan pribadi yang berakhlak mulia, damai, toleran dan mampu berkomunikasi dengan siapapun dengan cara yang ma`ruf. Sehingga masa depan bangsa adalah generasi yang mampu beragama dalam konteks Indonesia yang plural dan bernegara dalam konteks Indonesia yang religius," ujarnya.
Ia juga banyak mendengar keluhan atas sedikitnya alokasi waktu pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) di Perguruan Tinggi Umum (PTU).
"Jam pelajaran pendidikan agama Islam di Perguruan Tinggi Umum yang hanya 2 (dua) SKS, secara umum sulit untuk mampu mengemban missi pendidikan yang utuh, yang mampu mengintegrasikan potensi kecerdasan kognisi, emosi dan intuisi. Untuk itu menjadi sangat urgen penguatan Ma`had al-Jami`ah at-Takmiliyah yang menjadi salah satu program Direktorat PD Pontren," ujar Zayadi dalam kegiatan Semiloka Nasional Pengembangan Kapasitas Kelembagaan Madrasah Diniyah Takmiliyah Rabu, (30/05).
Kasubdit Pendidikan Madrasah Diniyah Takmiliyah, Safiuddin menyampaikan rasa syukurnya atas regulasi Ma`had al-Jami`ah at-Takmiliyah yang sudah lengkap, hanya teknisnya saja yang perlu dirumuskan bersama.
"Ma`had al-Jami`ah at-Takmiliyah adalah sebuah layanan pendidikan keagamaan yang diatur dalam PP No. 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Kemudian keluar PMA No. 13 Tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Islam yang menggantian PMA No. 3 Tahun 2010. PMA tersebut mengklasifikasi dan mengelompokkan pendidikan keagamaan Islam menjadi semakin jelas dan sangat akomodatif terhadap aspirasi, kreatifitas dan inovasi yang dikembangkan oleh masyarakat dalam pengelolaan pendidikan keagamaaan Islam, khusus mengenai pendidikan diniyah takmiliyah yang bisa diselenggarakan dalam bentuk satuan maupun program," paparnya.
Ia menambahkan bahwa kegiatan ini mempunyai 4 (empat) target agar secara kelembagaan Ma`had al-Jami`ah lebih mapan.
"Kapasitas kelembagaan Ma`had al-Jami`ah harus kuat. Untuk itu kegiatan semiloka ini akan menghasilkan 4 (empat) hal, yaitu pedoman teknis Ma`had al-Jami`ah, payung hukum Ma`had al-Jami`ah di Perguruan Tinggi Umum, izin operasional Ma`had al-Jami`ah akan diatur oleh Kemenag RI pusat, dan pengaturan skema bantuan Ma`had al-Jami`ah dalam satu tahun," pungkasnya. (ogie/dod)
Bagikan: