Serpong (Pendis) - Pondok pesantren merupakan lembaga indegenous Indonesia. Ia lahir dan tumbuh dari rahim Indonesia. Oleh karenanya, pesantren merupakan benteng yang sesungguhnya dalam mengawal Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). "Tanpa pesantren, Indonesia bisa jadi menjadi rapuh," demikian pernyataan Abd A`la, pengasuh pondok pesantren An-Nuqayah, Sumenep, Jawa Timur, ketika menjadi narasumber dalam kegiatan "International Seminar on Pesantren Studies" yang diselenggarakan di ICE BSD Serpong Tangerang Banten pada tanggal 20 s/d 22 November 2017.
Menurut rektor UIN Surabaya itu, secara kurikuler, pesantren mengajarkan pemahaman keislaman yang damai, anti radikal. Sebab, di samping mengajarkan disiplin ilmu fiqh dan tauhid, pesantren juga mengembangkan ilmu tashawuf. Dengan sejumlah keilmuan itu, pesantren mendorong para santrinya untuk memiliki integritas personal dan sosial, termasuk kebangsaan. "Dengan pola pendidikan 24 jam dalam sehari, pesantren membiasakan para santrinya dengan akhlak yang baik, di samping terus menuntut ilmu pengetahuan dan beribadah," papar guru besar UIN Surabaya.
Pesantren, menurut Abd A`la, telah memberikan kontribusi besar dalam merawat warna Islam Indonesia yang damai. "Oleh karenanya, ketika Presiden Joko Widodo datang ke pesantren kami di An-Nuqayah, saya menyampaikan ke beliau agar pemerintah benar-benar mau merekognisi pondok pesantren. Tanpa pesantren, NKRI sangat mungkin menjadi rapuh," paparnya lebih lanjut.
International Seminar on Pesantren Studies diselenggarakan untuk memeriahkan event International Islamic Education Expo Kementerian Agama, dengan menghadirkan sejumlah narasumber baik dari dalam maupun dari luar negeri, seperti Syeikh Dr. Thariq Ghannam dari Global University Lebanon, Syekh Dr. Salim Alwan, Mufti Darul Fatwa Australia, Syaikh Prof. Dr. Muhammad Hasan Hitou, Direktur Pusat Studi Ilmu Keislaman Internasional kelahiran Syria, KH. Masdar Farid Masudi dari PBNU, Dr. H. Anwar Abbas, MM dari PP Muhammadiyah, Amich alhumami, MA, M.Ed, PhD dari Bappenas, dan Dr. Noor Achmad, MA dari komisi VIII DPR RI. (Swd/dod)
Bagikan: