Jakarta (Pendis) – Guru PAI terus didorong untuk melek literasi, terutama dengan gemar menulis. Sebab, kebiasaan menulis dapat memacu kreativitas dan memunculkan ide-ide segar sehingga dapat mengedukasi masyarakat. Namun, untuk rutin menulis, para guru sering terbentur dengan berbagai alasan, terutama karena kesibukan tugas mengajar.
Menurut Direktur Pendidikan Agama Islam Kementerian Agama, Rohmat Mulyana bahwa solusi untuk masalah tersebut yakni dengan meluruskan niat. Niat untuk menulis, bukan hanya bicara.
"Pastikan niat sudah bulat untuk memulai menulis. Guru itu sudah pasti pintar berbicara, maka luangkan waktu untuk menuangkan ide-ide yang ingin ditulis, apalagi banyak persoalan-persoalan aktual yang bisa direspon" kata Rohmat kepada peserta webinar Penguatan Literasi dan Budaya Menulis Bagi GPAI di Sekolah yang diselenggarakan oleh Subdit PAI SMP secara online Kamis (5/11).
Menurutnya, para guru sebenarnya sudah biasa menulis. “Guru itu sebenarnya sudah biasa nulis, tetapi di papan tulis. Sekarang harus nulis di Media sehingga orang lain bisa membaca karyanya”, ungkap Rohmat yang ditengah kesibukannya masih sempat nulis sejumlah artikel.
Ia berharap agar para guru PAI dapat membantu Kementerian Agama dalam mengedukasi masyarakat terkait dengan moderasi beragama dan Islam rahmatan lil alamin.
“Saya berharap para guru PAI terus menulis di media massa atau di Media Daring tentang nilai-nilai Islam rahmatan lil alamin dan moderasi beragama.” ujarnya.
Webinar yang dimoderatori oleh Bil Bahtiar, Kasi Kurikulum Subdit PAI SMP ini, menghadirkan sejumlah penulis produktif antara lain Saiful Maarif, dari Subdit PAI SMP Ditpai, Bagus Mustakim dari Ngawi, Fajar Sidik dari Sidoarjo, Iis Suryatini dari Bandung, dan Fitra Yenti dari Padang.
Kegiatan ini juga diikuti oleh para Kasi Tingkat Dasar di Bidang PAIS/PAKIS/PENDIS Kanwil Kemenag Propinsi dan Ketua MGMP PAI SMP tingkat propinsi.
Saiful Maarif berbagi pengalaman dalam menulis artikel populer. Beberapa kali hasil karyanya dimuat di media cetak. Menurutnya, pencapaian tersebut tidak lepas dari kerja keras dan keberanian.
Menurutnya, sebagai PNS memang kadang dilematis, antara menulis kritis atau sekedar informatif. Sebab banyak media yang tidak mau menerima tulisan dengan embel-embel PNS.
"Kuncinya tidak takut salah, sekalipun kita sebagai PNS. Karena kita menulis bukan untuk mencari kesalahan. Semangat ini harus diterapkan saat kita mulai menulis. Semua orang pasti punya hobi dan bakat untuk menulis. Hanya mau dikembangkan atau tidak." tegasnya.
Selanjutnya, Bagus Mustakim, menyampaikan pengalamannya tentang menulis yang sudah dia tekuni sejak jaman mahasiswa di Jogjakarta. Penulis lebih dari 20 artikel ini mengatakan, bahwa ia termotivasi menulis karena sebagai aktivitas mahasiswa ada rasa malu kalau tidak punya karya tulis.
“Sebagai aktivis, rasanya malu dan gengsi kalau tidak punya karya tulis. Karena itu dulu kita berlomba-lomba untuk unjuk gigi nulis sebanyak mungkin di media massa. Termasuk pernah nulis untuk majalah Bakti milik Kemenag DI Jogja dan Majalah Rindang milik Kemenag Jawa Tengah”, ujarnya sambil mengenang.
Sementara itu Iis Suryatini menyatakan bahwa menulis bisa jadi diawali karena keterpaksaan. Hal ini dia alami saat ditugaskan mengajar di salah satu SMP di wilayah pelosok Bandung yang akses ke kota jauh, termasuk akses buku bacaan.
“Saya terpaksa menyiapkan buku bahan ajar sendiri karena tersemangati oleh keadaan dimana anak-anak kesulitan mendapatkan buku pelajaran atau buku bacaan. Karena jarak ke kota yang jauh dan tidak mudah untuk mencapai ke kota”, ungkapnya mengenang awal mula senang menulis.
Sedangkan Fitra Yenti mengatakan bahwa butuh kesabaran dan ketekunan dalam menghasilkan suatu buku. Tidak bisa langsung jadi.
“Saya lebih senang menulis di waktu malam saat suasana sudah mulai tenang. Ide akan mengalir dengan deras karena tidak direpoti dengan berbagai aktivitas harian di siang hari”, kata Fitra yang baru saja menelorkan buku tentang literasi spiritual.
Pada bagian lain Fajar mengungkapkan bahwa guru harus berkontribusi dalam memajukan bangsa melalui karya ilmiah. Untuk itu, dia mengimbau agar para guru mulai menumbuhkan budaya gemar menulis.
“Tulis saja apa yang anda ingin tulis dan tidak usah takut tulisan anda dibilang jelek. Nanti kalau sudah selesai, baru baca ulang tulisan tesebut sambil ngopi santai atau dengerin music. Pasti hasilnya akan lebih baik”, katanya.
Dalam memulai menulis buku, kadang-kadang banyak hambatan yang ditemui. Salah satu yang sering ditemui adalah ketiadaan ide. Sebenarnya, ide itu bisa muncul dan berujung pada satu kata, yaitu masalah.
“Untuk mendapatkan tulisan yang baik dan berisi, memang sebaiknya banyak membaca dan banyak silaturahmi. Harus banyak gaul”, katanya.
Pada akhir sessi Webinar, Agus Sholeh, Kasubdit PAI SMP Ditpai, mengatakan bahwa Direktorat PAI ingin mendorong agar para guru dan pengawas PAI di sekolah punya kemampuan yang memadai dalam dunia literasi, terutama karya tulis popular. Karena ini juga bagian dakwah dan mengedukasi masyarakat.
"Sekarang ini masih sedikit artikel dari guru PAI di media massa. Kita ingin para guru dan pengawas PAI produktif menulis di media massa. Terutama untuk mengedukasi masyarakat dan merespon berbagai persoalan terkini yang dihadapi oleh masyarakat”, ujar Agus Sholeh. (Gus/Hik)
Bagikan: